Jakarta _ indeks.co.id —Ketika mendengar lalu membaca pemberitaan dan cerita tentang kegaduhan di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, sekonyong ingatan terbayang pada Perang Diponegoro yang bermula dari kemarahan Sang Pangeran terhadap pengambilan tanah yang dipatok dengan semena-mena oleh penguasa Ketika itu. Gambaran dari imajinasi yang mengkawatirkan ini,mau tak mau berujung pada perang terbuka seperti yang diidentifikasi sebut dalam sejarah sebagai Perang Jawa itu.
Berbagai pihak telah meminta penghentian pengadaan lahan Bendungan Bener dan menghentikan juga rencana pertambangan di Desa Wadas, Bener, Purworejo. Manajer Tambang dan Energi Walhi Fanny Tri Jambore memgatakan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. (Bisnis.Com, 10 Februari 2022). Putusan MK yang dimaksud ini merupakan putusan terhadap perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu amar putusan MK yaitu memerintahkan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Kecuali itu, logika berpikir menajdi sungsang ketika dipertanyakan alasan Desa Wadas dijadikan sebagai lokasi untuk pengadaan tanah proyek tersebut. Sementara jarak Desa Wadas ke lokasi rencana pembangunan Bendungan Bener sekitar 10 kilometer. Dan mengapa pula Desa Wadas yang hendak dijadikan penambangan batu andesit untuk material proyek Bendungan Bener yang disebut tidak memiliki IUP itu.
Tentu akan lebih sulit lagi misalnya untuk melihat korelasi dari kasus ini dengan ramalan sebelum pecah Perang Jawa II, Sultan Agung, leluhur Diponegoro dari trah Mataram telah meramalkan bahwa penjajah akan berkuasa 300 di tanah Jawa. Adakah rentangan waktu sejak perng Diponegoro itu – 1825-1830 – terbilang hingga meliputi waktu hingga sekarang ?
Ini bagian yang juga tak jelas. Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa. Perang melawan penguasa ketika itu di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa. Lain lagi ceritanya perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.
Yang unik dan runyam dari perang Diponegero semakin berat karena sesungguh yang harus dihadapi adalah keluarga dan bangsa sendiri. Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Tetapi Daendels juga telah mengubah etika dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa, seperti memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militer miliknya untuk membangun jalur antara Anyer dan Panarukan.
Lalu insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) hingga menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III.
Perisitwa yang dikenal dengan sebutan Geger Sepehi ini, berdampak politis pada pihak Inggris tahun 1815 harus mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Ketika Hamengkubuwono III wafat dan digantikan putranya — adik tiri Pangeran Diponegoro — yaitu Hamengkubuwana IV yang masih berusia 10 tahun.
Bermula pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo – yang menjadi perpanjangan tangan penjajah — sehingga kemarahan terus memuncak dengan aksi mencabut dan menggantinya dengan tombak atas perintah Pangeran Diponegoro. Bayangkan, karena itu pihak Istana langsung mengutus dua bupati senior keraton pada 20 Juli 1825 untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.
Jadilah kediaman Diponegoro dikuasai dan dibakar, karena Pangeran Diponegoro dan pengikutnya berhasil meloloskan diri ke barat hingga bertahan di Goa Selarong, Bantul. Hingga Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, dijadikan basis perlawanannya. Begitulah perang Jawa atau perang Diponegoro terjadi yang dipimpin Sang Pamngeran bersama masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”. Artinya “sejari kepala sejengkal tanah harus dibela sampai mati”.
Sejarah juga mencatat, tak kurang dari 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan sebagai ekspresi dari perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang semena-mena.
Perang Jawa yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwana VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Sehingga Perang Diponegoro ini diyakini para pengikutnya adalah perang sabil, jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. (Ensiklopedia Bebas). Pangeran Diponegoro pun sebagsi muslim yang taat merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-penjajah.
Jakarta, 12 Februari 2022
Penulis : Jacob Ereste