Urgensi Izin Jaksa Agung: Menjaga Independensi dan Mencegah Politisasi Hukum
Jakarta 23 April 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
Mahkamah Konstitusi sedang menghadapi permohonan pengujian Pasal 8 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2021, yang mensyaratkan “izin Jaksa Agung” untuk memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seorang jaksa. Banyak yang menyuarakan bahwa aturan ini berlebihan. Namun, pandangan demikian gagal melihat fakta bahwa hukum tidak boleh tunduk pada popularitas atau tekanan opini publik. Justru, ketentuan ini adalah tembok terakhir agar institusi Kejaksaan tidak dikoyak-koyak oleh intervensi liar yang membahayakan penegakan hukum itu sendiri.[1]
1. Independensi Jaksa Adalah Harga Mati
Jaksa bukan sekadar aparat hukum biasa. Mereka adalah penuntut umum, representasi negara dalam menyuarakan keadilan di ruang sidang. Jika proses hukum terhadap jaksa bisa dilakukan sembarangan tanpa pengawasan dari atasan tertinggi, maka pintu kriminalisasi terbuka lebar. Jaksa bisa dikriminalkan hanya karena menyentuh kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Karena itu, izin Jaksa Agung justru adalah pagar konstitusional untuk melindungi independensi internal institusi Kejaksaan.[2]
2. Izin Bukan Kebal Hukum, Tapi Mekanisme Pertanggungjawaban
Perlu ditegaskan: ini bukan bentuk impunitas. Ini adalah pengawasan internal. Sama seperti izin Presiden diperlukan untuk memeriksa anggota DPR atau menteri.[3] Tanpa mekanisme seperti ini, hukum bisa menjadi alat dendam politik. Model semacam ini juga diterapkan di banyak negara dengan sistem hukum modern, termasuk Jerman dan Prancis.[4]
3. Menghindari Chaos Antar Lembaga Penegak Hukum
Bayangkan jika Kepolisian bisa seenaknya memeriksa jaksa tanpa kontrol institusional. Apa yang terjadi? Balas membalas perkara. Saling jerat antar penegak hukum. Maka izin Jaksa Agung adalah alat stabilisasi—bukan untuk melindungi kejahatan, tapi untuk menjaga agar hukum tidak menjadi sarana saling menjatuhkan.[5]
4. Pengaturan Waktu Bisa Diatur, Tapi Jangan Hapus Fungsinya
Masalah waktu pemberian izin dapat diatur dalam peraturan pelaksana. Misalnya, batas 7 hari kerja untuk merespons permintaan pemeriksaan. Tapi jangan pernah hapus mekanisme izin itu sendiri. Menghapusnya sama saja melepas rem dalam kendaraan tanpa pengemudi—berbahaya dan menabrak prinsip kehati-hatian hukum.[6]
5. Equality Before the Law Tidak Berarti Perlakuan Sama Tanpa Konteks
Equality before the law bukan berarti semua harus diperlakukan sama secara kaku. Seorang wartawan, seorang hakim, dan seorang jaksa punya fungsi dan tanggung jawab yang berbeda. Maka mekanisme pengawasan internal juga wajar berbeda. Tidak semua yang berbeda berarti diskriminatif. Dalam hukum, perlakuan berbeda itu sah jika didasarkan pada perbedaan fungsi yang relevan.[7]
Penutup: Jangan Bakar Rumah Karena Tikus
Jika ada jaksa yang melanggar hukum, proseslah dia! Tapi jangan hancurkan sistem perlindungan kelembagaan hanya karena segelintir orang. Yang salah adalah oknumnya, bukan sistem izinnya. Tugas kita sebagai bangsa hukum bukan meruntuhkan pagar-pagar akuntabilitas, tapi memperkuatnya agar tidak mudah ditunggangi oleh nafsu kekuasaan dan opini sesaat.
Catatan Kaki
1. [1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 8 ayat (5).
2. [2] Komaruddin Hidayat, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Kompas, 2019), 214.
3. [3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20A ayat (3), Pasal 24 ayat (1).
4. [4] Christoph Safferling, International Criminal Procedure (Oxford: Oxford University Press, 2012), 87–88.
5. [5] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Cambridge: Harvard University Press, 1945), 352.
6. [6] Ibid., 354.
7. [7] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 193.
*)Kabais TNI 2011-2013
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi