Oleh : Farhat Abbas
Relatif lebih tragis. Itulah gempa bumi, apalagi berkekuatan tinggi: di atas 6 scala lighter, yang berpotensi besar untuk merobohkan banyak bangunan fisik. Dan sekitar sebulan lalu, Sulawesi Barat – tepatnya di Mamuju – dilanda gempa bumi yang sempat merobohkan sebagian bangunan kantor Gubernur Sulbar, di samping banyak bangunan fisik lainnya. Yang perlu kita catat lebih jauh, apa hikmah di balik bencana alam (gempa bumi) di Tanah Sulbar itu?
Jika kita membandingkan bencana alam alam (banjir, longsor dan angin puting beliung), maka sifat penderitaan bagi para korban gempa bersifat sangat mendadak. Seperti tak ada rentang waktu untuk menghindari, apalagi jika gempa terjadi petang atau malam hari. Sedang asyik tidur atau istirahat, tiba-tiba bangunan ambruk. Maka, seketika itu pula, korban bukan hanya tak bisa bergerak lari, tapi langsung “diterkam” robohan puing-puing bangunan. Kesimpulannya, potensi korban akibat gempa bumi memang lebih besar, dibanding bencana alam seperti banjir, longsong dan angin puting beluing. Setidaknya, ada luang waktu untuk menghindari amuk alam itu.
Apapun jenis bencana alam, akibatnya memang menderitakan korban. Kini, kita perlu memgambil hikmah. Dalam hal ini – setidaknya – ada tiga hal yang sangat mendasar. Pertama, kebangkitan kembali solidaritas kemanusiaan. Tanpa pandang perbedaan agama, ras dan kelas sosial-ekonomi, terjadi reaksi positif-konstruktif banyak elemen untuk membantu korban gempa bumi itu.
Kita saksikan, ada upaya maksimal untuk berlomba kebaikan. Atas nama pribadi, kelompok, organisasi kemasyarakatan dan ormas keagamaan, bahkan sejumlah partai politik (parpol) turun bahu-membahu. Dalam hal ini, keluarga besar Partai Negeri Daulat (PANDAI) DPW Sulbar dan DPP – secara faktual – ambil bagian gerakan kemanusiaan dengan menurunkan relawan PANDAI Sulbar. Mereka singsingkan baju untuk menyalurkan bantuan makanan siap saji; memasang terpal untuk tempat para korban berteduh; kebutuhan sarung dan selimut. Semua ini dalam rangka mengekspresikan rasa kemanusiaan. Meski hanya sebagian dari yang dibutuhkan para korban, setidaknya ikut meringankan beban. Dan – secara psikologis – pun terasa ada jalinan tertentu yang sarat dengan dimensi kemanusiaan. Dan PANDAI hadir memang harus ikut merasakan apa yang dirasakan masyarakat, termasuk mereka yang tertimpa musibah.
Empati kemanusiaan itu tentu tak lupa pula hadir dari anasir pemerintahan Pusat atau Daerah: sama-sama menunjukkan kepedulian kemanusiaan di tengah Sulbar. Namun, seperti yang kita saksikan bahwa dalam waktu yang relatif bersamaan, juga terjadi bencana alam: Kalimantan Selatan dilanda banjir yang luar biasa. Jawa Barat dilanda longsor. Karena itu terdapat spreading of concentration, dalam hal kepedulian. Dan Pusat – atas nama keadilan – tentu harus berbagi konsentrasi itu.
Itu berarti, masyarakat Sulbar dituntut pengorbanan jibakunya secara lebih ekstra, meski tetap berharap kepedulian sejumlah masyarakat dari daerah lain. Kita saksikan, sebagai refleksi kesatuan setanah air dan sebangsa, masih tetap muncul aroma kepedulian kemanusiaan itu terhadap masyarakat dan wilayah Sulbar. Inilai di antara rasa kemanusiaan yang tetap lahir ke arena Sulbar, di samping daerah-daerah lainnya yang terkena bencana. Hikmah ini tentu harus dirawat sebagai momentum solidaritas kemanusiaan. Arahnya, bukan semata-mata lahir karena bencana dan bersifat sesaat tapi bagaimana memperkuat rasa kemanusiaan pada masa normal dan seterusnya.
Mencermati kebangkitan solidaritas kemanusiaan di sentra-sentra daerah bencana alam, boleh jadi, Sang Pencipta memang merancang bagaimana masyarakat Indonesia perlu direkatkan kembali kohesivitasnya. Rancangan perekatan sosial ini tak lepas dari realitas ketidakakuran hubungan antar individu atau masyarakat, yang kini kian menguat. Fakta bicara, hampir setiap saat kita dengar atau baca keretakan interaksi sosial, apalagi dalam wilayah politik praktis.
Dengan desain itu, maka kita bisa memandang bahwa sejumlah bencana alam adalah cara Allah menunjukkan kasih-sayang kepada anak bangsa ini. Agar lebih mengedepankan rasa persatuan, penuh damai. Jika positive thinking ini yang muncul, maka bencana alam akan dilihat sebagai rahmat, bukan adzab, apalagi laknat. Skenario Allah tak lepas dari teguran halus atas hubungan antar sesama yang semakin kontraktif dan erotif. Arahnya jelas: mengajak seluruh umat manusia agar kembali harmonis hubungannya. Sungguh indah skenario itu, meski terkesan dipaksakan untuk berbaikan itu melalui bencana.
Kedua, mengingatkan penyelenggara pemerintahan daerah agar dalam upaya membangun kembali sarana dan prasarana, bahkan juga rekonstruksi pranata sosial-ekonomi harus dijauhkan dari upaya sistimatis malpraktek kebijakan. Dari sisi sosial, jangan sampai terjadi penyalahgunaan terhadap bantuan sosial (bansos) yang berdatangan dari berbagai elemen karena keterpanggilan rasa kemanusian. Di satu sisi, penyalahgunaan itu jelas-jelas mencederai nurani kemanusiaan. Di sisi lain – jika bansos dari Pemerintah – maka penyalahgunaan itu akan didera sangat memberatkan. Akan langsung berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena lembaga anti risywah ini lebih mengedepankan penindakan bagi koruptor disbanding pencegahan.
Sementara, dalam upaya rekonstruksi sarana dan prasarana, jelas pula bahwa proyek pembangunannya – terutama sarana pemerintahan – akan muncul anggaran, baik dari APBD ataupun APBN. Bahkan, dua sumber dana rekosntruksi ini juga – idealnya – akan mencakup sarana milik masyarakat, meski jatah per rumah tangga korban belum bisa dipastikan angka persisnya. Seberapapun nilai anggaran untuk rekonstruksi sarana dan prasarana resmi milik pemerintahan ataupun anggota masyarakat, semunya adalah anggaran yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Karena itu, jangan sampai muncul sikap aji mumpung (carpedium) di tengah mega proyek infrastruktur akibat bencana alam.
Di manapun oknum ada dan bertebaran. Namun – atas nama kemanusiaan dan pertanggungjawaban kepada negara dan rakyat – maka gerakan oknum bukan hanya perlu dideteksi secara dini, tapi juga harus dicegah sesistimatis mungkin. Jangan sampai memberi peluang korupsi-kolusi-nepotis (KKN). Untuk mencegah gurita KKN, maka menjadi urgen untuk melaksanakan transparansi tender: siapa pemenang dan bagaimana pelaksanaannya. Jika menghendaki mekanisme kontrol yang kuat, ada baiknya melibatkan anasir independen yang berintegritas. Siapa mereka, bisa dibahas secara teknis.
Kontrol kuat terhadap persoalan rekonstruksi sarana dan prasarana, bahkan terkait dengan masalah bansos adalah juga dalam rangka menjalankan misi utama integritas tata-kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Kita tahu bahwa persoalan good governance dan clean government sering menjadi problem akut. Dan itu berkorelasi pada ketidakmaksimalan pelaksanaan pembangunan yang berkualitas. Di sisi lain, juga sering mengakibatkan problem tersendiri dalam konteks kemanusiaan. Karena itu, akuntabilitas harus dilihat bukan semata-mata pertanggungjawaban publik, tapi kepada sang Khaliq. Yang harus dicatat, Yang Maha Tahu itu tidak suka dengan perilaku yang tidak amanah. Jika tidak amanah, sanksinya bukan hanya personal dan kelak, tapi – di alam fana ini – juga pasti akan menimbulkan reaksi. Bersifat sunnatullah, atau – menurut Albert Einstein – hukum alam.
Dalam kontek akuntabilitas itu, boleh jadi, gempa yang menghancurkan banyak sarana dan prasarana merupakan “siasat” Yang Maha Tahu dalam mengoreksi sistem tata-kelola anggaran bagi Pemeritahan Provinsi dan atau Pemerintahan Kabupaten Mamuju. Andaikan on the track, maka pesan kuat dari Yang Maha Melihat adalah memperteguh implementasi kebijakan penggunaan anggaran yang akuntabel. Setidaknya, ada early warning: jangan coba-coba menyalahgunakan kepercayaan publik dan atau negara atas hikmah baru (kepercayaan membangun sarana dan prasarana). Jika hal ini disadari, maka output politiknya adalah kian menguatnya kepercayaan publik terhadap sosok dan atau lembaga pemerintahan daerah ini. Setidaknya, hal ini juga merupakan legacy yang layak ditransformasikan kepada generasi penerus. Keteladanan terpuji ini layak diwariskan.
Dan ketiga, gempa bumi yang melanda bagian dari sulbar ini – secara langsung atau tidak – mengundang pertanyaan yang mendasar: bagaimana kebijakan Pemda terhadap persoalan pertanahan. Menurut data di lapangan, terdapat 14 perusahaan yang telah mengantongi izin pengelolaan bahan galian emas. Luasnya mencapai 50.103,35 hektar pada tiga kabupaten yakni Polewali Mandar (Polman), Mamasa dan Mamuju.
Selain itu, potensi tambang emas di Polman juga banyak dijumpai di beberapa kecamatan dan kelurahan seperti di Kelurahan Surung, Ongko dan Sumarrang dan beberapa potensi lain di daerah Kabupaten Mamasa. Sejumlah ahli geologi dan menirolog, kandungan emas yang terdapat di Sulbar menjadi mineral logam unggulan banyak yang tersebar di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Mamuju, Mamasa dan Polman. Salah satu potensi emas di Mamuju terdapat di Dusun Batuisi, Desa Karataun, Kecamatan Kalumpang, salah satu pemukiman penduduk yang berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu, Sulsel.
Yang perlu kita catat, sumber daya alam (SDA) Sulbar merupakan potensi yang layak dimanfaatkan. Tapi, manakala pemanfaatnnya eksploitatif dan melampaui batas, maka – secara teoritik dan empirik – menimbuhlkan reaksi alamiah. Berkaca pada kerangka teortik dan empirik ini, maka gempa bumi tak bisa dilepaskan dari kebijakan pertanahan dalam kaitan eksplorasi SDA.
Karenanya, tidaklah berlebihan jika terdapat komponen masyarakat – termasuk keluarga besar DAULAT, sebagai unsur DPP ataupun DPW Sulbar dan para kader di bawah dari berbagai daerah di Sulbar ini – menyampaikan catatan. Kritiknya sebagai sikap konstruktif. Untuk kepentingan masyarakat dan daerah Sulbar.
Dari catatan konstruktif itu pula, Pemprov. Sulbar bukan hanya perlu kaji ulang atas kebijakan kelonggaran atas persoalan pemanfaatan SDA, tapi juga perlu redesign kebijakan pro lingkungan yang menyelamatkan kehidupan umat manusia. Tak dapat disangkal, Sulbar sebagai daerah unggulan emas akan menghadapi tantangan besar ke depan. Sejalan dengan pemberlakuan UU Omnibuslaw, Sulbar akan dipaksa harus tunduk manakala Pusat memaksa untuk investasi di sektor SDA, termasuk emas itu. Karena itu, menjadi urgen bagi Sulbar untuk berjaga diri agar tidak diserbu investor asing ataupun domestik yang berpotensi besar akan lebih menghancurkan lingkungan Sulbar dan penduduknya.
Karena itu, kembali pada persoalan mendasar bahwa gempa Sulbar sejatinya menjadi peringatan dini agar jauh lebih waspada dalam “berkolaborasi” dengan lingkungan. Inilah hikmah yang perlu dibaca dengan cerdas.
Jakarta, 13 Februari 2021
Penulis: Ketua Umum Partai Negeri Daulat (PANDAI)
Redaksi/Publisher : Andi Jumawi