Pancasila, Nama yang Diyakini, Nilai yang Ditinggalkan Nama yang Diyakini, Nilai yang Ditinggalkan
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto
Kami memanggilmu “Pancasila”.
Dengan yakin, dengan bulat, dengan penuh hormat. Kami katakan engkaulah dasar negara.
Kami pasang gambarmu di dinding kelas, di ruang tamu pejabat, di mimbar orasi politik.
Tapi ketika kami buka konstitusi, kami mencari namamu…dan tak menemukannya.
Yang ada hanyalah lima sila, berdiri sendiri, terang, satu per satu, tertulis rapi dalam Pembukaan UUD 1945 — bukan dalam sebutan “Pancasila”, melainkan dalam isi yang seharusnya kami hayati:
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan.
Tapi kami, bangsa yang sibuk mencintai lambang, meninggalkan makna.
Kami sibuk menyebutmu, tapi enggan merinci sila pertama yang telah lama tak hidup di pasar.
Kami memuja namamu, tapi lupa sila kedua saat melihat manusia digusur demi proyek besar.
Kami menghafal susunanmu, tapi lupa sila ketiga saat kampanye memecah saudara.
Kami tepuk tangan di seminar kerakyatan, tapi diam saat suara rakyat dibungkam.
Kami bicara keadilan sosial, tapi tertawa dalam pesta di tengah kemiskinan.
“Pancasila adalah dasar negara,” katanya.
Tapi dasar itu entah di mana — karena kami tak pernah lagi berpijak pada sila-sila itu.
Kami percaya pada namamu, tapi kami kehilangan akarnya.
Kami rayakan hari lahirmu, tapi tak tahu siapa yang membesarkanmu.
Kami nyanyikan hymnemu, tapi hidup kami tak mengikuti iramanya.
Pancasila, maafkan kami.
Kami memuliakan namamu, namun kami mengkhianati isi yang tertulis jeladasa
Karena engkau bukan sekadar nama, engkau adalah nilai.
Dan jika bangsa ini ingin tetap utuh, kami harus kembali, bukan pada sebutanmu, tapi pada sila-sila yang benar-benar menjadi dasar.
Redaksi/Publizher : Andi Jumawi