JAKARTANasionalTULISAN

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

1565
×

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

Sebarkan artikel ini
Listen to this article

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

Jakarta 11 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb

(Kepala BAIS TNI 2011–2013)

Pasal 190 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara, dan setiap orang yang menyatakan keinginan menggantinya dengan ideologi lain di muka umum dapat dipidana. Pasal ini seolah menegaskan bahwa dasar negara kita sudah final. Tapi benarkah demikian?

Jika kita kembali ke sumber hukum tertinggi kita—Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Alinea keempat Pembukaan—maka akan kita temukan sesuatu yang menarik: rumusan kelima sila Pancasila memang termuat secara eksplisit, tetapi istilah “Pancasila” tidak pernah disebutkan.

Tak hanya itu, dalam seluruh batang tubuh UUD 1945, istilah “Pancasila” bahkan tidak muncul sekali pun. Artinya, secara normatif-konstitusional, tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyebut Pancasila sebagai dasar negara.

Ini menimbulkan pertanyaan serius: Mana yang sesungguhnya dasar negara Indonesia—Pancasila seperti yang dimaksud dalam KUHP, atau Alinea keempat UUD 1945 yang memuat lima sila secara deskriptif?

Simbol yang Tak Lagi Sejalan dengan Sistem

Inilah celah kritis yang selama ini tertutup oleh euforia seremonial. Pancasila diagungkan dalam pidato, diperingati tiap 1 Juni, dan dihafal oleh pelajar di seluruh negeri. Namun dalam sistem hukum dan praktik bernegara, Pancasila tidak diberi tempat sebagai norma konstitusional yang mengikat secara eksplisit.

Yang menjadi dasar negara secara hukum positif hanyalah Alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Sementara Pancasila sebagai istilah justru hidup dalam peraturan di bawah UUD, termasuk KUHP, Tap MPR, dan UU lainnya.

BACA JUGA  Sobat Binmas, berikut tanda klinis penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan

Inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara simbol dan sistem. Dan bila terus dibiarkan, kontradiksi ini akan memicu krisis kohesi nasional—karena rakyat tidak lagi tahu apa sebenarnya dasar bersama mereka sebagai bangsa.

Negara Tanpa Dasar atau Dasar yang Rapuh

Sejarah bangsa mana pun menunjukkan bahwa negara hanya bertahan jika memiliki cohesion force—kekuatan pemersatu yang hidup dan dijalankan. Bila cohesion force itu hanya disimpan dalam pasal pidana atau upacara formal, maka negara kehilangan fondasi moralnya.

Rakyat akan patuh karena takut, bukan karena percaya. Pemimpin akan bicara soal Pancasila, tetapi tidak menjadikannya acuan kebijakan. Hukum akan memaksa cinta terhadap sesuatu yang tidak pernah diperjuangkan oleh negara itu sendiri.

Dan saat itulah negara akan mulai roboh dari dalam—bukan karena diserang dari luar, tetapi karena kehilangan pondasi yang menyatukan elemen-elemen bangsa.

Solusi Konstitusional: Amandemen UUD 1945

Tidak cukup menjaga Pancasila dengan ancaman pidana. Tidak cukup memajang simbolnya di dinding sekolah atau kantor pemerintahan. Kita membutuhkan kepastian hukum dan konstitusional bahwa Pancasila benar-benar dasar negara, bukan sekadar julukan.

Satu-satunya cara untuk mengakhiri paradoks ini adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945, menyisipkan satu pasal eksplisit:

“Negara Republik Indonesia berdasar atas Pancasila sebagai dasar negara.”

Pasal ini akan mengikat semua produk hukum di bawahnya, sekaligus memperjelas bahwa Pancasila bukan hanya simbol ideologi, tetapi benar-benar norma fundamental yang hidup dalam sistem hukum dan pemerintahan.

Penutup: Saatnya Kembali ke Fondasi yang Tegas

Jika bangsa ini ingin tetap utuh, maka fondasi kebangsaannya tidak boleh dibiarkan mengambang. Negara membutuhkan dasar yang tidak hanya disebut, tetapi dijalankan. Dan dasar itu tidak boleh berubah-ubah tergantung tafsir politik yang berkuasa.

BACA JUGA  Tanpa Kerjasama, Kegiatan Penambangan KSO BASMAN tetap Berjalan di IUP PT.ANTAM Tbk

Karena ketika dasar negara tidak lagi jelas atau hanya dijadikan alat kekuasaan, maka negara kehilangan kekuatan kohesinya—dan bila cohesion force itu runtuh, maka negara akan menyusul roboh.

Maka, pilihannya bukan lagi sekadar wacana, tetapi keputusan politik konstitusional: Amandemen atau Kehampaan.

Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

DILARANG MENCOPY/PLAGIAT DAPAT DI PIDANA

error: Content is protected !!