oleh

Ahli : Koordinasi Kejaksaan, Peradilan Militer, dan KPK dalam Selesaikan Perkara Korupsi

JAKARTA, indeks.co.id —- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Senin (4/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto hadir sebagai Ahli Pemerintah untuk menyampaikan keterangan terhadap dalil dari permohonan Perkara Nomor 87/PUUXX/2023  yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon).

Soleman memberikan pandangannya mengenai pelaksanaan peradilan koneksitas di Indonesia. Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan—khususnya di bidang koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat dan penanganan perkara koneksitas, Kejaksaan akan menugaskan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer. Sementara apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, maka Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) wajib untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Kewajiban ini tertuang pada Pasal 42 UU KPK, sehingga norma ini harus dimaknai bahwa KPK wajib melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung apabila ditemukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan orang yang tunduk pada peradilan militer, namun KPK tidak turut serta dalam proses peradilan koneksitas bersama dengan Kejaksaan. Sebab, KPK terikat dengan Pasal 53 dan Pasal 54 UU KPK.

Berikutnya terkait dengan Penyidik Perkara koneksitas, Soleman yang pernah berkecimpung ke dunia intelijen TNI pada Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI sejak tahun 1996  ini, menjelaskan bahwa hal tersebut telah diatur pada Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Pada intinya, Penyidik pada perkara koneksitas yakni Polri, Polisi Militer, dan Oditur Militer atau oditur militer tinggi. Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, apabila tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

BACA JUGA  Kas Negara Tiris, Krisis Keuangan Makin Dekat?

“Maka yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah hasil dari proses penentuan pengadilan yang akan mengadili perkara koneksitas sebagaimana yang diatur oleh Pasal 90 dan Pasal 91 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP serta Pasal 199 dan Pasal 200 ayat (1), (2) dan (3) UU Peradilan Militer. Penentuan Pengadilan yang akan mengadili perkara koneksitas diputuskan berdasarkan hasil penelitian yang lakukan bersama-sama antara Jaksa atau Jaksa Tinggi dengan Oditur Militer atau Oditur Militer tinggi. Oleh karenanya, semua hasil penyelidikan dan penyidikan perkara koneksitas yang dilakukan oleh Polisi Militer TNI dan KPK mutlak harus diserahkan kepada Kejaksaan,” jelas Soleman di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK.

Dalam hal ini, jelas Soleman, KPK tidak ikut dalam penelitian yang ditujukan untuk menentukan titik berat kerugian, yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan Pengadilannya, apakah Pengadilan Umum atau Pengadilan Militer yang akan memeriksa dan mengadili perkara koneksitas tersebut. Sebagai ilustrasi, Soleman menyebutkan, apabila yang menderita kerugian terbesar ada pada pihak militer, maka penanganan perkara tersebut akan dilaksanakan di Peradilan Militer. Sementara, apabila yang menderita kerugian terbesar ada berasal dari pihak sipil, maka penanganan perkara akan diselesaikan di Peradilan Umum. Selanjutnya, hasilnya dilaporkan kepada Jaksa Agung untuk melimpahkan perkara ke pengadilan terpilih dan berwenang untuk mengadili perkara koneksitas tersebut.

“Sehingga norma untuk melaksanakan Peradilan Koneksitas sudah lengkap karena pada tiap tahapan proses hukum penyidikan, penuntutan, dan eksekusi dibentuk Tim Tetap Koneksitas yang berpedoman pada Surat Keputusan Jaksa Agung di pusat dan Surat Keputusan Kajati di daerah. Maka permasalahan perkara koneskitas tersebut ada pada ketidakpatuhan para aparat penegak hukum atas norma-norma yang sudah ada sebagaimana tertuang dalam UU KPK dan KUHAP serta UU Peradilam Militer. Dengan demikian norma-norma tersebut telah memberikan kepastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” sebut Soleman di hadapan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.

BACA JUGA  DUA ORANG DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI TERKAIT DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PT. ASABRI (PERSERO)

Korupsi dan Kerugian Negara

Terhadap keterangan Ahli dari Pemerintah ini, beberapa pertanyaan muncul dari meja para Hakim Konstitusi. Salah satunya dari Hakim Konstitusi Arsul Sani yang mempertanyakan koneksitas yang disebutkan Ahli mengacu pada besaran kerugian yang dialami oleh pihak militer dan/atau sipil. Sementara dalam pandangan Arsul, pada tindak korupsi justru terkait dengan penyalahgunaan APBN. Utnuk itu, Arsul butuh keterangan lebih dari ahli tentang penjelasan ini. Kemudian berkaitan dengan perkara yang diselesaikan dengan koneksitas, ini Arsul mempertanyakan kapan suatu proses hukum yang bersifat pro justitia dilakukan apabila peristiwa korupsi dilakukan oleh militer aktif, namun proses pro justitia baru dilakukan saat militer aktif tersebut sudah menjadi purnawirawan.

Atas pertanyaan tersebut, Soleman mengungkapkan ketika perbuatan itu dilakukan saat masih menjadi militer aktif, maka yang akan datang memproses pasti Polisi Militer (POM). “Tidak mungkin yang datang polisi, pasti POM karena masih berstatus militer aktif. Jadi mulai dari situ sudah masuk (pengadilan) militer,” jawab Soleman.

Berikutnya pertanyaan datang dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang mempertanyakan kekuasaan kehakiman yang disajikan Ahli yang memposisikan MK sejajar dengan PTUN, Peradilan Agama, dan peradilan lainnya. Sebab, jelas Daniel, MK dan MA merupakan pelaku kekuasaan kehakiman. Kemudian Daniel meminta agar Ahli dapat menyajikan model dari negara-negara lain di dunia yang mengaitkan tindak korupsi dan penanganannya dengan kepentingan publik.

Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon). Pemohon mengujikan secara materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.

BACA JUGA  RUU 8 Provinsi Resmi Disahkan Menjadi Undang-Undang

Pemohon menguji Pasal 42 UU KPK. Kemudian kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.

Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana yang melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja. Pemohon meyakini, ketidakprofesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan F.
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi

Disclaimer : Dilarang mencopy sebagian atau keseluruhan isi berita www.indeks.co.id tanpa seizin Sumber redaksi.Kecuali memiliki Izin dan Kerjasama yang tertulis. Segala pelanggaran Mencopy/Jiplak Berita,Tulisan,Gambar,Video dalam Media www.indeks.co.id bisa dituntut UU Nomor 40/1999 Tentang Pers pada Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan: “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *