Jakarta _ indeks.co.id — Salah satu pengarahan Jaksa Agung Republik Indonesia Burhanuddin kepada Kepala Kejaksaan Tinggi beserta jajarannya serta para Kepala Kejaksaan Negeri se-Sumatera Selatan beserta jajarannya, pada saat kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, adalah mengenai penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Berdasarkan data situs Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 sebesar 37, dari sebelumnya IPK Tahun 2019 sebesar 40, namun kerja keras yang dilakukan belum mampu mendongkrak IPK secara signifikan, ungkap Jaksa Agung.
Jaksa Agung RI Burhanuddin menyampaikan Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum sangat berkepentingan terhadap tinggi-rendahnya IPK, karena IPK merupakan potret dari kinerja kita dalam pemberantasan korupsi.
Salah satu kekeliruan kita dalam menyikapi rendahnya IPK adalah dengan mengejar penanganan korupsi sebesar-besarnya, namun melupakan perbaikan sistem yang mengarah pada terwujudnya ekosistem yang berorientasi pada transparansi, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang sehat.
Untuk itu Jaksa Agung RI mengajak Kajati dan Kajari beserta seluruh jajaran untuk mengubah cara berpikir dalam memberantas tindak pidana korupsi dengan turut berorientasi pada perbaikan sistem, yaitu dengan memperhatikan beberapa indikator dalam IPK, antara lain:
Penilaian tentang kaitan kebijakan politik dengan persaingan usaha yang sehat;
Penilaian tentang keberadaan suap di antara dunia usaha dengan pelayanan publik;
Penilaian tentang resiko individu/perusahaan melakukan suap untuk menjalankan usahanya;
Penilaian tentang pandangan para pelaku usaha terhadap permasalahan korupsi di Indonesia;
Penilaian tentang tindak pidana korupsi beserta tingkat eselon tertinggi yang melakukan korupsi pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif;
Penilaian tentang kebiasaan pelaku usaha melakukan pembayaran kepada oknum untuk keuntungan pelaku usaha;
Penilaian tentang efektivitas pemidanaan korupsi terhadap pejabat publik, efektivitas penerapan penegakan integritas pada lembaga publik, serta tingkat keberhasilan dalam mencegah korupsi;
Penilaian tentang ketersediaan prosedur atau peraturan mengenai alokasi dan penggunaan dana publik yang transparan dan berakuntabilitas pada lembaga atau instansi yang menerima;
Penilaian tentang tindak pidana korupsi pada Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun polisi atau militer.
Dalam rangka menaikan IPK tersebut, Jaksa Agung meminta seluruh bidang untuk mendorong pemerintah setempat untuk:
Melakukan legal audit guna memperbaiki sistem;
Mengutamakan pelayanan digital, baik melalui aplikasi maupun situs resmi yang aktual dan mudah diakses;
Memberikan pelayanan prima yang cepat, mudah dan transparan;
Menunjukan akuntabilitas kinerja kepada masyarakat;
Menerbitkan standar operasional prosedur dan akuntabilitas penggunaan dana publik;
Membangun zona integritas dan meraih predikat wilayah bebas korupsi (WBK) – Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM);
Jika hal ini dilakukan secara simultan dan penuh integritas, Jaksa Agung yakin akan mempersempit celah bagi para oknum untuk melakukan perilaku koruptif, sehingga akan menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif.
Disamping itu, Jaksa Agung menyampaikan bahwa Kejaksaan selaku instansi penegak hukum harus terus meningkatkan performa dengan cara:
Melakukan pengawalan dan pengamanan pembangunan, khususnya pada proyek strategis pemerintah agar proses pembangunan tepat waktu, tepat mutu, dan tepat guna;
Segera menindaklanjuti laporan pengaduan dan diproses secara profesional;
Melakukan edukasi hukum dalam program Jaksa Masuk Sekolah (JMS), Penyuluhan Hukum, maupun berbagai seminar pemberantasan kinerja;
Mempublikasi kinerja Kejaksaan secara masif dan kreatif atas capaian-capaian kita untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, Jaksa Agung RI Burhanuddin selalu menekankan kepada setiap satuan kerja agar selalu menggunakan hati nurani dan mengedepankan kearifan, serta memperhatikan kualitas perkara seperti status sosial pelaku dimata masyarakat, besaran nilai kerugian negara, besaran nilai pengembalian kerugian negara, kompleksitas perkara, dan jika memungkinkan sekaligus mengangkat kasus Tindak Pidana Pencucian Uang-nya (TPPU).
Perkara korupsi tidak hanya berasal dari pengadaan barang dan jasa, tetapi juga bisa dari sektor-sektor yang menjadi sumber pemasukan daerah. Lakukan penegakan hukum yang dapat mendukung investasi, Jaksa Agung menekankan pengarahannya.
Jaksa Agung RI selanjutnya menyampaikan, bahwa tolok ukurnya dalam menilai kinerja Kajati dan Kajari beserta jajarannya tidak sebatas pada jumlah penyelidikan dan penyidikan yang dikerjakan, tetapi juga jumlah perkara yang ditingkatkan ke tahap penuntutan.
“Langkah ini saya ambil untuk menjaga kualitas penyelidikan dan penyidikan saudara, sehingga saudara tidak asal memiliki produk perkara. Buktikan kepada masyarakat bahwa Kejaksaan semakin mampu mengungkap perkara besar dan berkualitas,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan bahwa memberantas tindak pidana korupsi harus dilakukan secara berimbang antara pendekatan pencegahan (preventif) dan penindakan (represif) yang saling sinergis, komplementer, terintegrasi dan proporsional. Penanganan suatu perkara tidak hanya sekadar mempidanakan pelaku dan mengembalikan kerugian negara, namun juga harus dapat memberikan solusi perbaikan sistem agar tidak terulang di kemudian hari.
“Untuk itu, saya tegaskan pentingnya sinergitas bidang Pidana Khusus serta Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara sangat diperlukan untuk melakukan penegakan hukum yang konstruktif.
Karena sebanyak apapun penuntutan yang dilakukan, dan sebanyak apapun pengembalian kerugian negara tanpa diikuti dengan perubahan konstruktif, maka kita belum sepenuhnya melakukan penegakan hukum,” ujar Jaksa Agung.
Oleh karenanya, terhadap setiap instansi yang telah berhasil dibuktikan tindak pidana korupsinya oleh bidang Pidana Khusus, Jaksa Agung RI meminta Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri sedapat mungkin untuk mengerahkan jajaran Perdata dan Tata Usaha Negara guna melakukan audit terhadap tata kelola, sehingga terjadi perbaikan sistem pada instansi tersebut, dan diharapkan pada instansi tersebut tidak terulang tindak pidana korupsi yang lebih disebabkan karena rendahnya sistem dan tata kelola. (K.3.3.1).
Jakarta, 27 November 2021
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM
LEONARD EBEN EZER SIMANJUNTAK, SH. MH.
REDAKSI/PUBLIZHER : ANDI JUMAWI