JAKARTANasional

“Garibaldi “: Kapal yang Lebih Banyak Membakar Uang daripada Bahan Bakar

253
×

“Garibaldi “: Kapal yang Lebih Banyak Membakar Uang daripada Bahan Bakar

Sebarkan artikel ini
Listen to this article

Jakarta 10 Oktober 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H.
Mantan Kepala Kamar Mesin KRI Badik dan KRI Keris yang juga menggunakan mesin pendorong Gas Turbin LM 2500

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai lebih dari 80.000 kilometer dan terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Kondisi geografis ini menuntut kehadiran kapal-kapal patroli cepat dan efisien untuk menjaga kedaulatan dan menegakkan hukum di wilayah lautnya. Dalam konteks tersebut, keputusan untuk mengoperasikan atau bahkan membeli kapal induk besar seperti Giuseppe Garibaldi-class—kapal induk buatan Italia dengan bobot sekitar 13.000 ton—menjadi langkah yang tidak sejalan dengan kebutuhan operasional, geografis, dan ekonomi Indonesia.

Kapal induk Garibaldi awalnya dirancang untuk iklim subtropis Mediterania, berfungsi sebagai platform operasi udara (V/STOL) dan komando laut jauh dalam lingkungan strategis yang stabil secara logistik dan dekat dengan pangkalan darat. Namun, ketika diaplikasikan di wilayah tropis Indonesia yang memiliki kondisi laut, suhu, dan infrastruktur logistik qyang sangat berbeda, kapal jenis ini justru menjadi liabilitas anggaran dan beban operasional, bukan kekuatan strategis yang efisien.

Spesifikasi Teknis dan Fakta Operasional

Garibaldi-class menggunakan empat turbin gas General Electric LM2500 sebagai penggerak utama, dengan daya maksimum sekitar 60 MW (81.000 hp). Menurut data pabrikan, konsumsi bahan bakar spesifik (Specific Fuel Consumption / SFC) mesin LM2500 adalah 0,227 kg/kWh, yang setara dengan 227 gram bahan bakar per kilowatt-jam.

Dengan hukum daya kubik (P ∝ v³), kebutuhan energi meningkat tajam seiring kenaikan kecepatan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi tropis (+15% konsumsi karena efisiensi menurun akibat suhu dan kelembapan tinggi), Garibaldi-class mengonsumsi bahan bakar sebagai berikut:

Kecepatan BBM per Jam BBM per 24 Jam Biaya BBM (Rp 15.600/l)
10 knot 2.273 liter 54.552 liter Rp 851 juta / hari
15 knot 6.145 liter 147.480 liter Rp 2,30 miliar / hari
20 knot 14.581 liter 349.944 liter Rp 5,47 miliar / hari

Dalam satu bulan (720 jam operasi):

Kecepatan Konsumsi BBM / Bulan Biaya / Bulan
10 knot 1.636.560 liter Rp 25,53 miliar
15 knot 4.424.400 liter Rp 68,22 miliar
20 knot 10.498.320 liter Rp 163,77 miliar

Jika diasumsikan kapal beroperasi selama satu tahun penuh (12 bulan):

Kecepatan Konsumsi BBM / Tahun Biaya BBM / Tahun
10 knot 19,64 juta liter Rp 306 miliar
15 knot 53,09 juta liter Rp 828 miliar
20 knot 126 juta liter Rp 1,97 triliun
BACA JUGA  Samakan Persepsi Terhadap Visi Misi dan Tupoksi TNI AD Gelar Apel Dansat

Analisis Ekonomi dan Perbandingan

Untuk memahami besarnya beban ini, perlu dibandingkan dengan harga kapal perang berukuran 50 meter (kelas Offshore Patrol Vessel / OPV), yang justru jauh lebih sesuai dengan kebutuhan patroli Indonesia:

Jenis Kapal 50 m Harga (USD) Estimasi Rupiah
Patroli ringan (sipil modifikasi) 3 – 5 juta Rp 48 – 80 miliar
OPV ringan baru 10 – 20 juta Rp 160 – 320 miliar
Korvet ringan (lengkap senjata & sensor) 20 – 50 juta Rp 320 – 800 miliar

Dengan demikian, biaya bahan bakar tahunan Garibaldi pada kecepatan 15 knot (Rp 828 miliar) sudah setara dengan harga satu kapal perang baru 50 meter kelas OPV.
Pada kecepatan 20 knot, biayanya mencapai Rp 1,97 triliun, yaitu setara dengan dua hingga empat kapal perang baru.

Artinya, hanya biaya BBM untuk mengoperasikan satu kapal induk ini selama setahun setara dengan harga pembelian satu armada kecil kapal patroli cepat yang jauh lebih berguna untuk menjaga seluruh perairan nusantara.

Ini baru perhitungan biaya BBM  saja, belum ditambahkan biaya pelumas sekitar 10-15 % dari biaya BBM, belum lagi cat, tali temali dll.

Faktor Teknis dan Lingkungan Tropis

Kapal Garibaldi dirancang untuk lingkungan suhu sedang (15–25°C). Di wilayah tropis Indonesia:

Temperatur udara tinggi (30–35°C) menurunkan efisiensi turbin gas hingga 10–15%.
Kelembapan tinggi memperburuk pembakaran udara-bahan bakar.
Biofouling cepat di lambung kapal menaikkan tahanan gesek air, meningkatkan konsumsi BBM.
Jaringan logistik bahan bakar di Indonesia belum mendukung operasi kapal besar di luar pangkalan utama (Surabaya, Belawan, Sorong), menyebabkan biaya dukungan lapangan meningkat drastis.

Secara teknis, kapal besar berbasis gas-turbin seperti Garibaldi tidak efisien untuk patroli jarak pendek atau operasi pengawasan perbatasan. Desain semacam ini cocok untuk naval power projection di lautan terbuka, bukan untuk maritime policing di wilayah archipelagic sea lanes seperti ALKI I, II, dan III.

Kesalahan Strategis dalam Perspektif Nasional

Pembelian atau pengoperasian kapal Garibaldi-class di Indonesia mencerminkan ketidakselarasan antara strategi pertahanan maritim dan kebutuhan nyata lapangan.
Kesalahan utamanya terletak pada mispersepsi peran kapal besar dalam konteks keamanan maritim Indonesia.

Indonesia tidak memerlukan kapal induk, melainkan kapal patroli cepat, korvet ringan, dan kapal serbaguna dengan endurance sedang yang mampu beroperasi dari pulau ke pulau.

Sementara Garibaldi-class:

Memerlukan biaya operasional tahunan setara Rp 1 triliun,
•Tidak bisa beroperasi efektif di perairan dangkal dan sempit,
•Bergantung penuh pada dukungan logistik besar,
•Dan tidak relevan untuk fungsi utama TNI AL: menjaga ALKI, ZEE, dan perairan yurisdiksi nasional.

1. Ketika Simbol Kekuatan Tidak Sejalan dengan Kebutuhan

Banyak yang beranggapan bahwa Indonesia membutuhkan kapal induk ringan seperti Giuseppe Garibaldi-class milik Angkatan Laut Italia untuk memperkuat postur maritim nasional. Gagasan ini terlihat gagah di permukaan — seolah Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan laut dunia.
Namun di balik kemegahannya, tersembunyi kesalahan konseptual yang fatal: Indonesia bukan negara blue-water navy seperti Amerika Serikat atau Inggris. Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang membutuhkan kekuatan laut berlapis, cepat, dan efisien, bukan kekuatan proyeksi jarak jauh yang mahal dan lambat.

2. Desain untuk Mediterania, Bukan Nusantara

Kapal Garibaldi-class dirancang untuk laut Mediterania — lautan sempit dengan pangkalan sekutu di setiap sudutnya. Italia memiliki rantai logistik, bengkel LM2500, dan sistem suplai avtur pesawat yang lengkap.
Indonesia tidak.

Perairan Nusantara adalah laut tropis, lembab, dan asin; suhu tinggi menurunkan efisiensi mesin gas-turbine hingga 15 persen. Tanpa sistem pendingin udara dan logistik yang siap, kapal ini akan mengonsumsi bahan bakar secara berlebihan dan membutuhkan perawatan mahal hanya untuk mempertahankan kesiapan mesin.

3. Infrastruktur dan Rantai Pasok Tidak Siap

Kapal seperti Garibaldi memerlukan:

•Dermaga dalam dengan draft >8 meter,
•Fasilitas bunkering cepat (100 ton per hari),
•Logistik suku cadang LM2500, dan
•Teknisi bersertifikasi NATO.

Saat ini tidak satu pun pangkalan TNI AL — bahkan di Surabaya atau Bitung — memiliki fasilitas lengkap untuk mendukung operasi carrier berbasis gas-turbine. Akibatnya, kapal seperti ini hanya akan menjadi “museum terapung”yang indah untuk difoto, tapi jarang berlayar karena biaya perawatan dan logistik yang mencekik.

4. Bertentangan dengan Doktrin Sishankamrata

Doktrin pertahanan Indonesia adalah Sishankamrata — sistem pertahanan rakyat semesta. Artinya, kekuatan pertahanan harus bersifat defensif, berlapis, dan merata, bukan tersentralisasi dalam satu simbol kekuatan besar.
Kapal Garibaldi-class justru mencerminkan postur ofensif dan sentralistik: satu kapal menjadi pusat kekuatan. Jika kapal ini lumpuh, seluruh operasi gabungan bisa berhenti.

Indonesia tidak membutuhkan kapal yang bisa menyerang jauh, melainkan armada yang bisa bertahan lama, fleksibel, dan mampu hadir di seluruh ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).

5. Tidak Seimbang dengan Ancaman Nyata

Ancaman utama di laut Indonesia bukan armada asing raksasa, melainkan:

•Penyelundupan lintas negara,
•Penangkapan ikan ilegal,
•Pelanggaran batas laut, dan
•Bencana alam.

Kapal seperti Garibaldi bukan jawaban atas ancaman itu.
Ia tidak bisa mengejar kapal ikan, tidak efisien untuk patroli, dan terlalu mahal untuk sekadar menampilkan bendera.
Ironisnya, dalam perang modern yang semakin asymmetric, kapal besar justru menjadi target paling mudah bagi rudal dan drone swarm.

6. Biaya Tinggi, Manfaat Rendah

Setiap jam operasi gas-turbine pada Garibaldi setara membakar jutaan rupiah.
Sementara itu, satu kapal patroli cepat diesel-electric (kelas 1.000 ton) hanya membutuhkan sepersepuluh dari biaya tersebut dan dapat bertugas lebih lama.
Bagi negara dengan anggaran pertahanan sekitar 1 persen dari PDB, mengoperasikan satu kapal Garibaldi sama dengan menyisihkan sebagian besar dana laut untuk simbol, bukan fungsi.

7. Teknologi Lama di Era Drone dan Cyber

Garibaldi dibangun tahun 1980-an. Sistem radar, komunikasi, dan pertahanan udaranya sudah usang dibanding kapal modern.
Ketika ancaman utama kini datang dari drone, rudal hipersonik, dan perang elektronik, mengandalkan kapal seperti Garibaldi sama seperti membawa pedang ke medan perang siber.

8. Jalan yang Lebih Rasional

Indonesia lebih membutuhkan:

1.Kapal serbu amfibi (LHD) berbasis CODAG/diesel-electric, yang mampu membawa helikopter, UAV, dan pasukan marinir.
2.Kapal komando gabungan ALKI II, dengan sistem C4ISR (Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, Reconnaissance) untuk operasi cepat.
3.Kapal patroli jarak jauh (OPV) dan drone laut, untuk mempertahankan kehadiran di seluruh wilayah perairan.
Kapal semacam itu efisien, tahan lama, mudah dirawat, dan sejalan dengan karakter geografi Indonesia.

9. Penutup: Antara Gengsi dan Realitas

Mengoperasikan kapal seperti Garibaldi di Indonesia sama halnya dengan memakai jas Eropa di tengah tropis Nusantara — tampak berkelas, tapi tidak cocok dengan iklim dan kebutuhan nyata.
Bangsa yang besar bukan yang memiliki kapal terbesar, melainkan yang mampu menyeimbangkan kekuatan, kebutuhan, dan kemampuan nasional.

Indonesia tidak perlu menjadi Italia di Asia. Indonesia cukup menjadi dirinya sendiri — negara maritim yang kuat, efisien, dan bijaksana dalam membangun kekuatan lautnya.

Kesimpulan

Mengoperasikan kapal induk Garibaldi di Indonesia bukanlah simbol kekuatan, melainkan simbol kesalahan strategi maritim.
Dengan biaya bahan bakar tahunan yang mampu membiayai satu hingga empat kapal patroli baru, Garibaldi menjadi liabilitas logistik dalam iklim tropis dan struktur kepulauan Indonesia.

Strategi maritim Indonesia seharusnya berorientasi pada efisiensi, daya sebar, dan keberlanjutan operasional, bukan pada prestise platform besar yang tidak relevan.
Kekuatan laut modern bukan diukur dari ukuran kapal, tetapi dari kemampuan menjaga laut secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Redaksi/Publisher : Andi Jumawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

DILARANG MENCOPY/PLAGIAT DAPAT DI PIDANA

error: Content is protected !!