Sehubungan dengan adanya keberatan atau kekhawatiran dari institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap frasa dalam Pasal 35 ayat (1) huruf g Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi:
“mengoordinasikan, mengendalikan, serta melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara koneksitas,”
dapat saya sampaikan beberapa tanggapan akademik dan yuridis sebagai berikut:
1. Frasa tersebut adalah norma khusus (lex specialis) yang bersifat terbatas
Ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf g tidak berlaku secara umum, melainkan khusus untuk perkara koneksitas, yaitu perkara yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer secara bersama-sama dalam satu tindak pidana.
Dengan demikian, kewenangan Jaksa Agung dalam mengoordinasikan dan mengendalikan penyidikan tidak mengurangi kewenangan penyidik Polri sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
2. Makna “mengendalikan” dan “melakukan penyidikan” bukan mengambil alih fungsi penyidik Polri
Frasa tersebut tidak boleh dimaknai secara literal sebagai dominasi Jaksa Agung atas penyidikan, melainkan sebagai mekanisme pengintegrasian proses penyidikan antar dua yurisdiksi berbeda, yakni sipil dan militer. Dalam praktiknya, penyidikan tetap dilakukan oleh:
•Polri untuk unsur sipil,
•POM TNI dan Oditurat Militer untuk unsur militer.
Jaksa Agung hanya menjadi simpul koordinasi dan kendali strategis agar proses hukum tidak berjalan tumpang tindih.
3. Penunjukan Jaksa Agung sebagai koordinator sudah didukung peraturan bersama lintas lembaga
Kewenangan ini bukan diambil sepihak oleh Kejaksaan, tetapi telah diformalkan melalui:
•Peraturan Bersama Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri Tahun 2010, yang mengatur teknis penanganan perkara koneksitas secara kolektif.
Hal ini menunjukkan bahwa Polri pun telah menjadi bagian dari sistem koordinatif ini, bukan objek subordinasi.
4. Kekhawatiran Polri dapat ditindaklanjuti melalui penguatan regulasi teknis, bukan penolakan normatif
Jika terdapat kekhawatiran multitafsir terhadap makna “pengendalian” dan “penyelidikan”, langkah terbaik secara kelembagaan adalah mendorong:
•Penyusunan Peraturan Pelaksana (PP atau Peraturan Bersama baru) yang lebih rinci dan menjamin tidak terjadinya konflik kewenangan di lapangan.
•Menekankan bahwa posisi Polri dalam perkara koneksitas tetap memiliki otoritas fungsional sebagai penyidik, sebagaimana diatur oleh KUHAP.
Dengan demikian, tidak ada urgensi untuk menolak atau mengubah norma Pasal 35 ayat (1) huruf g, sebab norma tersebut justru diciptakan untuk mencegah tarik-menarik yurisdiksi antar institusi, termasuk dengan Polri.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan penilaian hukum dan pendekatan sistemik, saya menyarankan agar:
•Pimpinan menyampaikan posisi bahwa Pasal 35 ayat (1) huruf g tetap relevan dan diperlukan dalam perkara koneksitas, dan
•Setiap keberatan kelembagaan sebaiknya ditindaklanjuti dalam forum koordinatif bersama Kejaksaan dan TNI, guna menyusun protokol teknis pelaksanaan kewenangan secara proporsional dan tidak tumpang tindih.
Demikian tanggapan ini saya sampaikan sebagai bentuk dukungan teknis dan referensi analisis, apabila pimpinan hendak merespons isu ini dalam forum resmi antar-lembaga.
Hormat saya,
Laksda Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
















