Oleh: Soleman B. Ponto Pengamat Hukum yang Suka Ngopi di Pinggir Pantai
Di sebuah media online, seorang profesor dengan percaya diri menjelaskan bahwa:
“Hak Guna Bangunan (HGB) bisa diberikan di laut karena dasar laut adalah bagian dari bumi!”
Para pembaca yang Sebagian besar adalah mahasiswa terdiam, beberapa mencatat dengan ragu, sementara nelayan yang kebetulan ikut membaca bertanya-tanya apakah dia perlu membayar pajak atas perahunya yang setiap hari “bertengger” di atas tanah yang kini bisa bersertifikat.
Sebelum ide ini diterapkan dan kita mulai melihat kantor pertanahan menerima sertifikat dari ikan-ikan pari yang mengklaim haknya atas dasar laut, mari kita tinjau pernyataan Prof. Nurhasan satu per satu, ditemani oleh kitab hukum agraria kita: Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Siapa Prof. Nurhasan Ismail?
Prof. Nurhasan Ismail adalah pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang dikenal sebagai akademisi dengan pandangan jauh kedepan di bidang pertanahan dan agraria. Beliau memiliki fokus kajian pada hukum pertanahan dan tata ruang, serta sering memberikan pandangan mengenai kebijakan hukum agraria di Indonesia.
Pendapatnya mengenai kemungkinan pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan dimuat dalam artikelnya di J5NewsRoom.com dengan judul:
“Hak atas Perairan Kini Bisa Bersertifikat” (J5NewsRoom.com, 27 Januari 2025).
Dalam artikel tersebut, Prof. Nurhasan menyatakan bahwa:
“Tanah di bawah kolom air termasuk dalam pengertian tanah berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUPA, sehingga HGB dapat diberikan di atas pagar laut sepanjang mengacu pada ketentuan perundang-undangan terkait.”
Beliau juga mengutip Pasal 8 PP No. 27 Tahun 2021, yang mengatur kriteria pendirian bangunan di laut, sebagai dasar hukum bahwa HGB bisa diterapkan pada perairan tertentu.
Tentu, sebagai seorang profesor dengan banyak murid, pandangan beliau memiliki pengaruh besar. Oleh karena itu, kita perlu meluruskan hal ini sebelum anak didik beliau mulai mengajukan HGB untuk mendirikan ruko di atas terumbu karang.
Kalau perlu, mari kita ajak Prof. Nurhasan menyelam ke dasar laut bersama tim survei pertanahan untuk memastikan apakah dasar laut bisa diberi patok batas tanah atau apakah nanti kita harus berurusan dengan ikan pari yang keberatan wilayahnya diubah menjadi kompleks perumahan bawah air.
Membandingkan Pernyataan Prof. Nurhasan dengan Peraturan Perundang-undangan
Pernyataan Prof. Nurhasan:
“HGB dapat diberikan di atas perairan dengan merujuk pada Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.”
Mari kita lihat apakah pernyataan ini benar sesuai dengan bunyi pasal-pasal yang dikutip.
1. “Dasar laut adalah bagian dari bumi, maka bisa diberikan HGB”
💬 Prof. Nurhasan berkata:
“Tanah perairan dapat dilekatkan hak atas tanah, termasuk HGB, dengan mengacu pada Pasal 1 Ayat (4) UUPA.”
Bunyi Pasal 1 Ayat (4) UUPA:
“Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.”
🔍 Logika Waras:
•Pasal ini hanya memberikan definisi umum tentang “bumi” yang mencakup permukaan bumi, bagian di bawahnya, dan yang berada di bawah air.
•Pasal ini sama sekali tidak menyebutkan bahwa bagian di bawah air dapat diberikan hak atas tanah seperti HGB.
•Jika pasal ini cukup sebagai dasar hukum, maka kita juga harus siap memberikan HGB atas awan karena “langit juga bagian dari bumi”.
Kesimpulan: Pasal ini tidak cukup untuk membenarkan pemberian HGB di dasar laut.
2. “HGB bisa diberikan di laut sebagaimana diatur dalam PP 27/2021“
💬 Prof. Nurhasan berkata:
“PP 27/2021 Pasal 8 memungkinkan pemberian HGB di atas pagar laut.”
Bunyi Pasal 8 PP No. 27 Tahun 2021:
“Kriteria dan persyaratan pendirian, penempatan, dan/atau pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.”
🔍 Logika Waras:
•Pasal ini berbicara tentang persyaratan pendirian bangunan di laut, bukan tentang pemberian HGB.
•PP ini tidak membahas hak atas tanah atau hak atas perairan, melainkan sekadar pengaturan teknis mengenai bangunan yang boleh berdiri di laut.
•Jika pasal ini dijadikan dasar pemberian HGB, maka setiap kapal dan anjungan lepas pantai harusnya juga bisa diklaim sebagai “tanah” yang bisa diberi HGB.
Kesimpulan: PP ini hanya mengatur bangunan di laut, bukan pemberian HGB atas dasar laut.
3. “HGB bisa diberikan atas tanah negara, dan dasar laut adalah tanah negara”
💬 Prof. Nurhasan berkata:
“Dasar laut bisa dianggap tanah negara, maka bisa diberikan HGB.”
Bunyi Pasal 35 UUPA:
“Hak Guna Bangunan diberikan di atas tanah yang berstatus Tanah Negara, Tanah Hak Milik, atau Tanah Hak Pengelolaan (HPL).”
🔍 Logika Waras:
•Dasar laut memang dikuasai oleh negara, tetapi bukan TANAH dalam konteks agraria yang bisa diberikan HGB.
•Jika dasar laut bisa diberi HGB, maka pemerintah harus mulai memetakan zona ombak agar tidak ada yang melanggar “batas properti” di lautan.
•Jangan sampai nanti ada orang menggugat ombak karena dianggap menggerus batas tanah HGB-nya di laut!
Kesimpulan: Dasar laut bukan tanah dalam konteks hukum agraria yang bisa diberikan HGB.
Kesimpulan Akhir: Apakah Laut Bisa Disertifikatkan?
📌 HGB hanya bisa diberikan atas tanah yang memiliki status hukum sebagai tanah negara, tanah hak milik, atau tanah HPL.
📌 Pasal 1 Ayat (4) UUPA tidak secara otomatis membuat dasar laut menjadi objek HGB.
📌 PP 27/2021 hanya mengatur bangunan di laut, bukan pemberian HGB atas dasar laut.
📌 Dasar laut memang milik negara, tetapi bukan TANAH dalam konteks hukum agraria.
📢 Jadi, jika masih ingin memiliki tanah di laut, solusinya hanya satu: menunggu reklamasi!
Namun sebelum kita benar-benar mengizinkan dasar laut dikavling, ada baiknya kita ajak Prof. Nurhasan menyelam bersama tim pertanahan, untuk mengecek langsung apakah bisa dipasang patok batas di dasar laut atau apakah nanti para ikan harus mengajukan keberatan atas “penyerobotan tanah” mereka!
🌊📜😂
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi