INDEKS.CO.ID, JAKARTA | 30 November 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)
Pendahuluan
Sistem hukum di Indonesia menjunjung tinggi prinsip kompetensi absolut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Kompetensi absolut ini memastikan bahwa yurisdiksi peradilan dipisahkan secara jelas sesuai dengan subjek hukum dan jenis perkara. Dalam hal ini:
1.Peradilan umum menangani kasus yang melibatkan warga sipil.
2.Peradilan militer menangani kasus yang melibatkan anggota militer aktif.
Prinsip ini bertujuan untuk memberikan keadilan yang adil, efisien, dan terintegrasi, serta menghormati struktur peradilan yang telah diatur oleh konstitusi.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang memperkuat kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi, telah mengabaikan prinsip kompetensi absolut ini. Dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan sipil dan militer, MK melanggar pemisahan yurisdiksi yang diatur oleh UUD 1945 dan melemahkan mekanisme koneksitas yang diatur dalam KUHAP serta undang-undang terkait lainnya.
Kompetensi Absolut dalam Sistem Peradilan Indonesia
1. Dasar Hukum Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut lembaga peradilan diatur oleh konstitusi dan berbagai undang-undang organik, antara lain:
1.Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.”
Pasal ini menegaskan bahwa pembagian yurisdiksi peradilan di Indonesia didasarkan pada subjek hukum:
°Peradilan umum untuk warga sipil.
°Peradilan militer untuk anggota TNI aktif.
1.Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
°Menegaskan bahwa penyidik untuk tindak pidana militer adalah:
•Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
•Polisi Militer, dan
•Oditur Militer•
2.Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
°Memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan subjek hukum dari peradilan umum dan militer.
3.Pasal 89-91 KUHAP
°Memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menentukan yurisdiksi pengadilan dalam kasus koneksitas.
2. Mekanisme Koneksitas: Menjaga Kompetensi Absolut
Mekanisme koneksitas adalah cara untuk menangani perkara yang melibatkan subjek hukum dari dua yurisdiksi berbeda (sipil dan militer) tanpa melanggar prinsip kompetensi absolut. Dalam mekanisme ini:
•Jaksa Agung berwenang menentukan forum pengadilan.
•Pengadilan koneksitas melibatkan hakim militer di peradilan umum untuk memastikan aspek militer dari kasus tersebut ditangani secara adil.
Putusan MK dan Pengabaian Kompetensi Absolut
1. Isi Pasal 42 UU KPK
Pasal 42 UU KPK menyatakan:
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
2. Putusan MK
MK memutuskan bahwa KPK dapat menangani kasus tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi jika ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Dengan keputusan ini, KPK tidak lagi wajib menyerahkan perkara tersebut kepada Jaksa Agung untuk menentukan forum pengadilan.
3. Dampak pada Kompetensi Absolut
Keputusan ini mengabaikan prinsip kompetensi absolut dalam beberapa hal:
1.Pemisahan Yurisdiksi Dilanggar
°Dengan membawa kasus yang melibatkan anggota militer ke Pengadilan Tipikor, KPK melanggar Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menempatkan kasus militer di bawah peradilan militer.
°Pengadilan Tipikor hanya melibatkan hakim sipil, sehingga tidak memungkinkan partisipasi hakim militer sebagaimana diatur dalam mekanisme koneksitas.
2.Jaksa Agung Tidak Dilibatkan
°Putusan ini mengabaikan Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 89-91 KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengoordinasikan dan menentukan forum pengadilan dalam kasus koneksitas.
3.Pengadilan Tipikor Tidak Memenuhi Kriteria Koneksitas
°Berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, pengadilan ini hanya dapat mengadili kasus di lingkungan peradilan umum dengan hakim sipil sepenuhnya. Hal ini berbeda dengan pengadilan koneksitas, yang mensyaratkan keterlibatan hakim militer.
Contoh Pengabaian Kompetensi Absolut
Kasus Pengadaan Alutsista
Fakta kasus:
•Kontraktor sipil berkolusi dengan pejabat militer untuk memenangkan tender pengadaan alutsista melalui suap.
•Barang yang diadakan tidak sesuai spesifikasi, menyebabkan kerugian negara.
Proses hukum:
•Kontraktor sipil diadili di Pengadilan Tipikor tanpa melibatkan fakta-fakta yang relevan dengan militer.
•Pejabat militer diadili di peradilan militer, tetapi tanpa bukti-bukti yang lengkap dari pihak sipil.
Pengabaian kompetensi absolut:
•Kasus seharusnya ditangani secara koneksitas, dengan melibatkan hakim militer di pengadilan umum.
•Dualitas peradilan menghilangkan integrasi bukti, sehingga tanggung jawab sipil dan militer tidak dapat dituntut secara proporsional.
Dampak Sistemik Pengabaian Kompetensi Absolut
1.Kehilangan Integrasi Proses Hukum
°Pemisahan yurisdiksi menyebabkan fakta dan bukti yang relevan tidak dapat digunakan secara kolektif.
2.Dualitas Peradilan yang Tidak Adil
°Anggota militer sering kali menjadi fokus penyelidikan, sementara warga sipil yang memegang peran dominan dalam korupsi menerima hukuman lebih ringan.
3.Efek Jera yang Lemah
°Ketidakjelasan mekanisme koneksitas menciptakan celah hukum, sehingga tidak memberikan efek jera yang memadai bagi pelaku korupsi lintas yurisdiksi.
Solusi untuk Memulihkan Kompetensi Absolut
1.Revisi UU KPK
°Pasal 42 UU KPK harus diselaraskan dengan KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan untuk memastikan penghormatan terhadap kompetensi absolut lembaga peradilan.
2.Penguatan Peran Jaksa Agung
°Jaksa Agung harus diberi wewenang penuh untuk mengoordinasikan kasus lintas yurisdiksi sesuai dengan Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan.
3.Regulasi Pelaksanaan Koneksitas
°Peraturan tambahan harus memastikan bahwa kasus koneksitas melibatkan hakim militer di pengadilan umum untuk menjaga kompetensi absolut.
Kesimpulan
Putusan MK yang memperkuat kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK telah mengabaikan prinsip kompetensi absolut yang diatur dalam UUD 1945. Dengan memberikan kewenangan penuh kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi, MK menciptakan dualitas peradilan yang melanggar pemisahan yurisdiksi antara peradilan umum dan militer.
Revisi UU KPK dan penguatan mekanisme koneksitas menjadi langkah mendesak untuk memulihkan keadilan dan memastikan bahwa kompetensi absolut lembaga peradilan dihormati. Dengan mengintegrasikan kembali proses hukum, sistem peradilan Indonesia dapat menjaga kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
*)Kabais TNI 2011-2013
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi