INDEKS.CO.ID, JAKARTA, 30 November 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)
Pendahuluan
Peradilan koneksitas adalah mekanisme penting dalam sistem hukum Indonesia untuk menangani tindak pidana yang melibatkan dua yurisdiksi berbeda: peradilan umum dan peradilan militer. Mekanisme ini dirancang untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum, serta menghormati prinsip kompetensi absolut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK telah menghilangkan esensi peradilan koneksitas. Putusan ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, termasuk yang melibatkan anggota militer, jika kasus ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Akibatnya, pelaksanaan peradilan koneksitas terancam punah karena pengabaian mekanisme yang seharusnya dijalankan oleh Jaksa Agung dan lembaga terkait.
Putusan ini bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang secara eksplisit mengatur bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bagian dari peradilan umum dan hanya dapat mengadili warga sipil. Ini menegaskan bahwa KPK tidak dapat menjalankan peradilan koneksitas karena peradilan koneksitas mengharuskan partisipasi hakim militer untuk menangani perkara lintas yurisdiksi.
Peradilan Koneksitas: Pengertian dan Dasar Hukum
1. Pengertian Peradilan Koneksitas
Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum untuk menangani perkara tindak pidana yang melibatkan:
1.Subjek hukum sipil, yang tunduk pada peradilan umum.
2.Subjek hukum militer, yang tunduk pada peradilan militer.
Mekanisme ini bertujuan untuk:
•Mengintegrasikan proses hukum dalam satu pengadilan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum.
•Mencegah tumpang tindih yurisdiksi antara peradilan umum dan peradilan militer.
•Menghindari kesenjangan hukum yang merugikan salah satu pihak.
2. Dasar Hukum Peradilan Koneksitas
1.KUHAP (Pasal 89-91):
°Pasal 89: Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
°Pasal 90: Jaksa Agung menentukan yurisdiksi pengadilan (peradilan umum atau peradilan militer).
°Pasal 91: Keputusan Jaksa Agung bersifat final.
2.Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):
°Jaksa Agung bertanggung jawab mengoordinasikan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam kasus koneksitas.
3.Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan:
°Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk:
“Mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.”
4.Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:
°Penyidik dalam tindak pidana militer adalah Ankum, Polisi Militer, dan Oditur.
3. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, pengadilan tindak pidana korupsi adalah pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum. Beberapa ketentuan penting dari UU ini adalah:
1.Pasal 1:
°Hakim di Pengadilan Tipikor terdiri dari:
1.Hakim karier: Hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
2.,Hakim ad hoc: Orang yang diangkat sebagai hakim tindak pidana korupsi berdasarkan persyaratan dalam undang-undang.
2.Pasal 2:
°Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum.
Makna UU Pengadilan Tipikor:
•Pengadilan Tipikor hanya dapat mengadili warga sipil, sesuai dengan kompetensi absolut peradilan umum.
•Tidak ada hakim militer di Pengadilan Tipikor, sehingga tidak mungkin menjalankan mekanisme koneksitas.
•Hal ini membedakan Pengadilan Tipikor dari pengadilan koneksitas di lingkungan peradilan umum, yang mensyaratkan adanya hakim militer.
Putusan MK dan Dualitas Peradilan
1.Dampak Putusan MK
Putusan MK memperkuat kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi tanpa memperhatikan mekanisme koneksitas. Hal ini menciptakan beberapa konsekuensi serius:
1.Dualitas Peradilan
°Kasus korupsi yang melibatkan sipil dan militer akan diadili secara terpisah:
•Warga sipil diadili di Pengadilan Tipikor.
•Anggota militer diadili di peradilan militer.
°Hal ini bertentangan dengan tujuan koneksitas, yaitu mengintegrasikan proses hukum dalam satu pengadilan.
2.Ketidakmungkinan Menjalankan Koneksitas di Pengadilan Tipikor
°Berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009, semua hakim di Pengadilan Tipikor adalah sipil. Tidak ada ruang untuk keterlibatan hakim militer, yang merupakan syarat utama dalam peradilan koneksitas.
3.Ketidakadilan bagi TNI
°Jika kerugian negara lebih banyak disebabkan oleh warga sipil, TNI sebagai pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut warga sipil yang diadili secara terpisah di Pengadilan Tipikor.
4.Preseden Bagi Polisi Militer
°Ketika KPK tidak menyerahkan perkara kepada Jaksa Agung, Polisi Militer (POM) dapat melakukan hal serupa, yakni menyidik dan mengadili sendiri anggota militer yang terlibat. Hal ini menciptakan dualitas peradilan yang tidak terintegrasi.
Solusi untuk Memulihkan Mekanisme Koneksitas
1.Revisi UU KPK
°Pasal 42 UU KPK harus diselaraskan dengan KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan untuk memastikan mekanisme koneksitas tetap berada di bawah kendali Jaksa Agung.
2.Penguatan Peran Jaksa Agung
°Jaksa Agung harus diberi wewenang penuh untuk menentukan penyelesaian kasus lintas yurisdiksi melalui koordinasi dengan KPK dan Polisi Militer.
3.Regulasi Pelaksanaan Koneksitas
°Peraturan pelaksana harus memastikan bahwa mekanisme koneksitas melibatkan hakim militer di pengadilan umum untuk menangani perkara lintas yurisdiksi.
4.Penegasan Kompetensi Absolut
°Regulasi tambahan harus memastikan bahwa anggota militer tetap diproses di peradilan militer kecuali ada keputusan koneksitas yang sah.
Kesimpulan
Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK telah menciptakan ketidakpastian hukum dengan menghilangkan mekanisme peradilan koneksitas. Ketentuan bahwa Pengadilan Tipikor berada di lingkungan peradilan umum dan hanya melibatkan hakim sipil menunjukkan bahwa KPK tidak dapat menjalankan mekanisme koneksitas.
Dualitas peradilan akibat putusan ini bertentangan dengan tujuan koneksitas yang dirancang untuk mengintegrasikan proses hukum. Revisi UU KPK dan penguatan peran Jaksa Agung sesuai dengan Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan adalah langkah mendesak untuk memulihkan keadilan dan kepastian hukum dalam sistem peradilan Indonesia.
*) Kabais TNI 2011-2013
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi