JAKARTA, indeks.co.id — 10 Januari 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto. ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
1. Dasar Hukum yang Mengatur Yurisdiksi Peradilan Militer
a. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.”
Implikasi:
UUD 1945 secara tegas membedakan yurisdiksi masing-masing peradilan, termasuk peradilan militer untuk mengadili anggota TNI. Memaksakan proses hukum prajurit TNI di peradilan umum jelas bertentangan dengan konstitusi karena melanggar pembagian kekuasaan kehakiman yang telah diatur.
b. Pasal 65 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Implikasi:
Frasa “yang diatur dengan undang-undang” mengisyaratkan bahwa prajurit hanya bisa diadili di peradilan umum jika diatur secara khusus oleh undang-undang. Namun, hingga saat ini belum ada aturan yang mengalihkan yurisdiksi prajurit TNI ke peradilan umum. Artinya, prajurit tetap tunduk pada peradilan militer.
c. Pasal 2 Buku Satu KUHPM
“Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Implikasi:
Jika seorang prajurit melakukan tindak pidana umum, hukum yang diterapkan boleh berasal dari KUHP (hukum pidana umum), tetapi proses pengadilannya tetap di peradilan militer. Sehingga, membawa prajurit ke peradilan umum melanggar ketentuan ini.
2. Pertentangan dengan Prinsip Konstitusional
a. Pelanggaran terhadap Pembagian Kekuasaan Kehakiman
UUD 1945 secara tegas memisahkan kewenangan antara peradilan umum dan peradilan militer.
•Peradilan umum hanya berwenang mengadili warga sipil.
•Peradilan militer berwenang mengadili prajurit TNI dalam semua tindak pidana.
Memaksakan prajurit TNI diadili di Peradilan Umum melanggar prinsip separation of power (pemisahan kekuasaan) dan konstitusi.
b. Pelanggaran terhadap Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
UU TNI dan KUHPM merupakan hukum khusus (lex specialis) yang mengatur peradilan militer. Sementara KUHP dan KUHAP adalah hukum umum (lex generalis).
Prinsip hukum:
Lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum).
Implikasi:
Hukum militer sebagai hukum khusus tidak dapat disubstitusi oleh hukum umum. Maka, peradilan umum tidak berwenang mengadili prajurit TNI.
c. Ancaman Terhadap Disiplin Militer
TNI adalah lembaga dengan struktur komando dan disiplin yang ketat. Proses hukum di peradilan militer mempertimbangkan aspek:
•Disiplin militer
•Hierarki komando
•Kode etik militer
Jika prajurit diadili di peradilan umum, akan terjadi konflik yurisdiksi dan kerapuhan disiplin dalam tubuh TNI.
3. Penerapan pada Kasus Penembakan di Rest Area Tol Tangerang-Merak
Dalam kasus penembakan oleh tiga anggota TNI AL di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak yang menewaskan seorang warga sipil, desakan agar kasus ini diadili di peradilan umum justru bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Alasan:
•Pelaku adalah anggota aktif TNI, sehingga wajib diadili di peradilan militer.
•KUHP dapat digunakan sebagai dasar hukum, tetapi proses peradilannya tetap berada di peradilan militer.
4. Penutup
Memproses prajurit TNI di peradilan umum untuk tindak pidana apapun bertentangan dengan UUD 1945, UU TNI, dan KUHPM. Peradilan militer adalah forum yang sah dan konstitusional untuk mengadili anggota TNI, dengan mempertimbangkan disiplin, hierarki, dan karakteristik militer.
Oleh karena itu, segala bentuk upaya membawa prajurit TNI ke peradilan umum tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam stabilitas dan disiplin militer.
*)Kabais TNI (2011-2013)
Redaksi/Publisher ; Andi Jumawi