JAKARTA, INDEKS.co.id — Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (25/9/2025), berlangsung panas. Dua ahli hukum yang dihadirkan pemerintah, Oce Madril dan Muhammad Rullyandi, mendapat pertanyaan tajam dari para hakim terkait status polisi sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan aturan pengisian jabatan di luar kepolisian.
Pokok perkara uji materi ini diajukan oleh advokat Syamsul Jahidin dan lulusan hukum Christian Adrianus Sihite. Keduanya menggugat Pasal 28 Ayat (3) UU Polri yang mewajibkan anggota polisi mengundurkan diri atau pensiun bila menduduki jabatan di luar kepolisian.
Polisi ASN atau Bukan?
Dalam keterangannya, Oce Madril berpendapat tidak ada masalah dengan ketentuan tersebut. Menurutnya, secara konseptual polisi merupakan bagian dari pegawai negeri yang diangkat negara, sehingga dapat mengisi jabatan birokrasi tertentu. Oce merujuk UU ASN dan PP Nomor 17/2020 yang membolehkan anggota Polri mengisi jabatan ASN pada instansi pusat tanpa harus beralih status menjadi PNS.
Namun, pernyataan ini dipatahkan oleh para hakim. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan, norma pokok dalam Pasal 28 Ayat (3) sudah jelas: polisi hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah pensiun atau mundur. “Apakah penjelasan bisa menabrak norma batang tubuh? Itu yang jadi persoalan,” ujar Enny.
Ketua MK Suhartoyo bahkan menegaskan bahwa Polri bukan bagian dari ASN. “ASN itu PNS dan PPPK. Polri bersama TNI adalah komponen penyangga aparatur negara, bukan ASN,” tegasnya.
Ahli Kedua Juga Tersudut
Ahli hukum lain, Muhammad Rullyandi, juga mendapat kritik keras. Ia menyebut Polri termasuk aparatur sipil berdasarkan konstruksi hukum lama dalam UU ASN Nomor 5/2014. Namun pernyataannya langsung dipatahkan oleh Hakim Arsul Sani yang mengingatkan bahwa UU tersebut sudah digantikan dengan UU Nomor 20/2023.
Rully sempat kebingungan soal keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang ternyata sudah dibubarkan. Hal ini membuat hakim meragukan akurasi argumentasinya.
Dampak Konkret
Dalam persidangan, saksi Arista Hidayatul Rahmansyah—mahasiswa program doktoral hukum—menyampaikan bahwa keberadaan perwira polisi aktif di jabatan sipil merugikan masyarakat. Ia mencontohkan posisi Sekretaris Jenderal DPD RI yang diisi perwira tinggi Polri, sehingga menutup peluang kompetisi bagi warga sipil.
“Bahkan yang bersangkutan mendapat kenaikan pangkat menjadi bintang tiga saat masih menjabat Sekjen DPD, padahal posisinya berada di ranah politik,” kata Arista.
Dinamika Uji Materi
Perdebatan soal apakah polisi dapat disetarakan dengan ASN menjadi titik krusial persidangan. Di satu sisi, ahli menilai regulasi yang ada saling melengkapi sehingga memungkinkan polisi aktif menduduki jabatan di pemerintahan melalui mekanisme penugasan. Di sisi lain, hakim menegaskan norma hukum harus tetap berpijak pada batang tubuh UU, bukan sekadar penjelasan atau peraturan internal.
Sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo ini akan dilanjutkan dengan agenda pembahasan kesimpulan para pihak sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan.(Tim)
Redaksi/Publizher : Andi Jumawi
















