Jakarta, 7 Juni 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Sebuah Catatan Kritis
Kita perlu waspada terhadap arah baru dalam RUU KUHAP
Banyak yang belum sadar bahwa rancangan ini mengandung bahaya diam-diam: sidang pidana bisa berubah seperti jalur conveyor—mengalir mulus dari BAP menuju vonis bersalah, tanpa proses uji kebenaran yang sebenarnya.
Bayangkan jika persidangan tidak lagi menjadi ruang adu argumen antara jaksa dan advokat.
Cukup ada BAP, sedikit formalitas, dan vonis dijatuhkan. Pembelaan hukum jadi formalitas belaka. Yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada jaminan bahwa bukti yang didapat secara melanggar hukum (misalnya tanpa izin atau lewat penyiksaan) akan ditolak hakim.
RUU ini belum memuat apa yang dikenal dalam hukum sebagai exclusionary rule. Padahal, itu benteng penting melawan penyalahgunaan kekuasaan.
Akibatnya, peran advokat bisa sangat terpinggirkan. Advokat kehilangan ruang untuk:
–Menguji cara bukti didapat,
-Menjaga hak tersangka sejak awal,
-Mengoreksi proses yang tidak adil.
Apa yang harus kita dorong bersama?
•RUU KUHAP wajib mencantumkan exclusionary rule agar bukti yang diperoleh secara melanggar hukum tak bisa digunakan.
•Hakim harus diposisikan sebagai penggali kebenaran, bukan hanya pemeriksa berkas.
•Tersangka wajib dilindungi haknya untuk selalu didampingi advokat.
•Semua proses hukum harus tunduk pada asas due process of law, bukan sekadar kelengkapan prosedur.
•Jangan biarkan keadilan lahir dari prosedur buta.
Reformasi hukum acara pidana seharusnya menguatkan ruang perlawanan terhadap kekuasaan, bukan malah membungkamnya.
BAP sebagai Pusat dalam RUU KUHAP: Menyesatkan Hakim, Melemahkan Peradilan ini alarm serius.
RUU KUHAP menempatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai dokumen utama — bahkan dibaca sampai ke Mahkamah Agung!
Ini sangat berbahaya.
Mengapa?
Karena BAP adalah produk penyidik, bukan produk pengadilan.
Menjadikan BAP sebagai sumber utama dalam sidang sama saja dengan membuat hakim ikut masuk ke wilayah penyidikan.
Hakim tidak lagi netral, tapi diam-diam sudah “disusupi” sudut pandang aparat penegak hukum sejak awal. Itu artinya, fungsi advokat lumpuh.
Apa gunanya pembelaan di persidangan, kalau keyakinan hakim sudah dibentuk oleh BAP sejak awal?
Inilah yang disebut ‘conveyor belt justice’.
Persidangan tidak lagi menggali kebenaran, hanya mengalirkan dokumen dari polisi ke jaksa lalu ke hakim.
Tidak ada lagi proses adil, tidak ada ruang bagi tersangka untuk didengar secara setara.
Karena itu, sangat sependapat dengan PERADI yang secara tegas menolak BAP dibawa masuk ke ruang hakim. BAP cukup berhenti di kejaksaan, dan yang diuji di pengadilan adalah surat dakwaan, bukan hasil pemeriksaan penyidik yang sering kali dibuat tanpa pendampingan hukum dan penuh tekanan psikologis.
RUU KUHAP harus dikoreksi.
Jika tidak, kita akan menyaksikan pengadilan yang bukan lagi ruang koreksi kekuasaan, tapi penguat tuduhan sepihak.
Stop menjadikan BAP sebagai kitab suci persidangan.
Kembalikan pengadilan sebagai tempat uji materiil, bukan ruang pengesahan prosedur.
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi