INDEKS.CO.ID, JAKARTA — Untuk pertama kali dalam sejarah, jumlah wajib pajak Indonesia menyentuh angka 70 juta, 70.291.585 tepatnya.
Data yang dilansir Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Laporan Tahunan DJP 2022 ini dirilis 6 Desember 2023 lalu.
Pada sumber yang sama, dikatakan juga bahwa saat ini aparat pajak (fiskus) yang bertugas memungut pajak di DJP ada sebanyak 44.787 fiskus. Jumlah yang timpang jika dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang harus dilayani.
Andaikan setiap fiskus ditugasi melakukan pelayanan kepada wajib pajak, maka satu fiskus akan memegang sekitar 1.500-an wajib pajak. Tugas berat menanti otoritas pajak negeri ini.
Populasi wajib pajak yang semakin sesak ini pun sejalan dengan padatnya volume data dalam dunia maya.
Produk-produk digital tercatat sudah mendekati angka exabyte. Exabyte terdiri dari sekitar satu triliun byte atau satu miliar gigabytes. Kita hidup era Big Data di mana volume, velocity dan variety sekarang kuantitasnya tak hingga.
Bonus demografi wajib pajak berikut ketersediaan akses informasi sejatinya menjadi kekuatan bagi pemerintah dalam menghimpun penerimaan pajak.
DJP dalam Laporan Tahunannya juga mengaku telah mendayagunakan teknologi informasi dalam kerja hariannya.
Bekal kekuatan teknologi yang dimaksud terejawantahkan dalam kerangka Data Driven Organization yang digaungkan pemerintah.
Secara logika sederhana, pihak mana yang paling punya memiliki data terbesar di Indonesia (Last Resort Data)? Swasta atau Pemerintah? Pemerintah, tentunya. Penguasaan suatu institusi pemerintah terhadap data dan informasi, tidak dapat dimungkiri menjadi hal yang mutlak di era ini.
Nampaknya otoritas pajak kita tahu betul memanfaatkan bonus kecanggihan populasi, teknologi informasi, data dan informasi di era ini.
Tantangan lain hadir tak kalah hebat. Upaya pengujian kepatuhan wajib pajak melalui peran fiskus dalam pemeriksaan dinilai menjadi tantangan selanjutnya.
Dengan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang tak sebanding dengan total wajib pajak, membuat sebagian pihak kerap mempertanyakan keandalan produk hukum ketetapannya.
Perlu diketahui, DJP sejatinya memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan untuk menjalankan kepastian hukum berjalan.
Produk pemeriksaan pajak tidak hanya menghasilkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Secara statistik, Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) pun terbit mengikuti jaminan hak dan keadilan bagi wajib pajak.
Tantangan bagi calon presiden di tahun 2024 untuk memompa instansi ini menghadapi tantangan itu.
Pasalnya, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjalankan program-program unggulan Capres nanti tentu akan masih bertumpu pada penerimaan pajak. Penting bagi mereka mengangkat isu sektor penerimaan terbesar di negeri ini.
Namun, setidaknya ada tiga modal keunggulan calon presiden Indonesia untuk bicara cara menghadapi tantangan tadi. Pertama, cara baru otoritas pajak bekerja di masa depan. Kedua, bonus demografi wajib pajak. Ketiga, bonus big data.
Kita ulas poin pertama terlebih dahulu.
Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2022, pada tahun 2023 ini DJP paling tidak sudah membentuk gugus tugas yang dinamakan Komite Kepatuhan Wajib Pajak.
Disebutkan juga bahwa pembentukannya merupakan upaya perbaikan area asesmen mandiri Tax Administration Diagnostic Assessment Tool (TADAT) standar yang lazim otoritas di negara lain.
Kehadiran Komite Kepatuhan digadang-gadang menjadi cerminan cara kerja DJP di masa depan. Menitikberatkan pada area efektivitas manajemen risiko membuat otoritas pajak kita akan bekerja strategis, matang dan terfokus.
Tata kelola Komite Kepatuhan Wajib Pajak existing juga mendorong terwujudnya sinergi antarunit untuk menghindari tumpang tindih penanganan wajib pajak.
Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP) ditetapkan melalui mekanisme yang terukur, sistematis dan kredibel sehingga hasil produk pemeriksaan bisa dibilang cukup handal karena sejak di hulu telah disaring sedemikian rupa melalui mesin risiko. Suatu program unggulan yang perlu dipertahankan capres terpilih nantinya.
Kedua,
Masalah keunggulan data dan informasi. Berdasarkan Laporan Tahunannya, Sejak 2019 DJP telah membangun dan mengembangkan Compliance Risk Management (CRM) Pemeriksaan dan Pengawasan. sebagai alat manajemen risiko kepatuhan wajib pajak.
Adapun Komite Kepatuhan Wajib Pajak sejatinya berperan sebagai pengambil kebijakan atas rekomendasi berdasarkan output CRM.
CRM merupakan mesin yang memetakan profil kepatuhan wajib pajak.
Setiap wajib pajak diprediksi tingkat kepatuhannya menggunakan data analytics yang sedang hype digunakan industry start up belakangan. Data SPT, Faktur Pajak dan pihak ketiga dari Instansi, Laporan, Asosiasi dan Pihak Lain (ILAP) yang diperoleh DJP secara otomatis menjadi bahan bakar mesin risiko ini.
Ketiga,
Bicara keunggulan bonus populasi wajib pajak. Tujuh puluh juta wajib pajak kita tentu membutuhkan treatment yang berbeda-beda.
Tidak bisa digeneralisir. Dengan pemberian warna pada setiap diri wajib pajak melalui CRM, DJP dapat memprioritaskan tindakan terbaik bagi setiap diri wajib pajak.
Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2022, mesin ini menghasilkan rekomendasi pilihan treatment DJP kepada wajib pajak yang terukur, sistematis dan objektif. Wajib pajak yang hasil bacaan CRM-nya berisiko tinggi sudah barang tentu akan direkomendasi pengawasan dan pemeriksaan.
Apabila diketahui adanya variabel tertembak pada unsur kesengajaan pidana maka akan direkomendasikan untuk masuk ranah pemeriksaan bukti permulaan. Sedangkan wajib pajak yang bacaan mesin risikonya berlabel risiko rendah, secara adil akan lebih dilayani dan diedukasi secara prima.
Hingga saat ini berdasarkan modal yang ada, DJP telah menggenapi variable-variabel untuk memenuhi prasyarat menjadi negara maju lewat pungutan pajak.
Tinggal bagaimana calon presiden baru membawa program unggulannya bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan, efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak. Modalnya sudah ada.
Rabu,20 Des 2023
Oleh: Banon Keke Irnowo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi