JAKARTA, www.indeks.co.id | Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, Indonesia harus menjaga momentum untuk menjadi negara besar. Untuk itu, Indonesia harus bersiap mengambil langkah dalam menatap situasi perekonomian pada 2023.
“Dinamika ke depan ditentukan oleh kebijakan hari ini. Situasi ekonomi pascapandemi kita lihat rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sampai 2027 itu ada di 4,3 persen (data IMF),” ujar Erick dalam acara rilis hasil Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk “Kinerja Presiden, Pencabutan PPKM, Ketersediaan Bahan Pokok dan BBM, serta Peta Politik Terkini” pada Minggu (22/1/2023).
Erick menyampaikan, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2023 mencapai lima persen atau menempati peringkat kedua dari negara-negara G20 di bawah India dengan 6,10 persen. Proyeksi tersebut unggul dibandingkan Cina dengan 4,40 persen maupun Amerika Serikat (AS) dengan 1 persen. Sementara negara-negara G20 lain seperti Italia, Jerman, Rusia, diproyeksikan mengalami pertumbuhan negatif
“Perbandingannya dengan negara-negara G20 posisi kita sangat baik, ini konteks menarik artinya posisi kita sudah baik, apakah kita ada kekurangan, pasti ada,” ucap Erick.
Untuk itu, ucap Erick, pemerintah terus berupaya menelurkan kebijakan yang bermanfaat untuk seluruh rakyat, bukan pada pilihan politik. Erick menilai seluruh elemen bangsa harus bersatu untuk meneruskan capaian apik tersebut.
“Kita membuat kebijakan untuk semua rakyat, tidak terjebak pada pilihan politiknya, kalau kita terjebak akhirnya kita tidak melihat pertumbuhan yang kita inginkan, saya rasa tidak baiklah kalau seperti itu,” lanjut pria kelahiran Jakarta tersebut.
Erick menyampaikan, keseriusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam meningkatkan akselerasi hilirisasi sumber daya alam (SDA) menjadi kunci pertumbuhan ekonomi sekarang dan di masa yang akan datang. Indonesia, ucap Erick, tak mendapatkan manfaat besar saat terjadi commodity boom akibat mayoritas mengirimkan raw material atau bahan mentah ke luar negeri.
“Kebanyakan raw material, jadi value addednya tidak diciptakan di Indonesia, akhirnya pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan ada di negara lain. Saat commodity boom selesai, kita juga terkena efeknya, hanya sawit yang bertahan karena turunan industrinya bisa sampai 80,” ucap dia.
Erick mengatakan, Jokowi tak gentar dengan gugatan Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan Indonesia melarang ekspor sejumlah kekayaan alam seperti bijih nikel hingga bauksit. Pun dengan kebijakan UE dalam penerapan green industrial plant yang merugikan Indonesia.
“Artinya mereka ingin pelan-pelan menutup market kita, jadi market kita harus dibuka tapi market mereka harus ditutup dengan alasan-alasan kebijakan yang tentu disusupi. Ini dinamika yang terjadi karena kalau kita lihat data ekonominya (banyak negara Eropa) menuju resesi,” sambung Erick.
Erick menyampaikan Indonesia juga tengah mengalami surplus perdagangan hingga 51 miliar dolar AS, pun dengan nilai ekspor yang terus meningkat. Kondisi tersebut, lanjut Erick, menjadi kekhawatiran bagi banyak negara lain di dunia.
“Ini yang ditakutkan negara-negara pesaing kita karena memang sampai 2045 kita direncanakan mungkin masuk empat atau lima ekonomi besar dunia. Mereka sudah membaca data ini, makanya mereka ingin kita lebih lambat, istilahnya jangan cepat kaya lah Indonesia,” kata Erick.(Syam)
Redaksi/Publizher : Andi Jumawi