Teks: Bustan Pinrang Pengamat Ekonomi Mikro/Kerakyatan foto bersama Menteri Kabinet Indonesia Maju dalam acara Rakernas 1 PDI Perjuangan di JI Expo, Kemayoran, Jakarta, Jumat (10/02/2020). Foto: Syafrudin Budiman.
Jakarta – www.indeks.co.id–H. Bustan Pinrang Pengamat Ekonomi Mikro/Kerakyatan membenarkan pernyataan Presiden Joko Widodo di Rakernas 1 PDI Perjuangan di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Jumat (10/01/2020), yang menyebut masalah terbesar yang dialami Indonesia selama bertahun-tahun dan tidak pernah selesai, yakni defisit transaksi berjalan. Untuk itu Bustan mendukung pemerintah, agar Indonesia melakukan transformasi ekonomi untuk akselerasi ekonomi.
Menurut Bustan sapaan akrabnya, kenapa ini (defisit transaksi berjalan) terjadi? Karena masalahnya adalah impor kita yang masih besar dan ekspor kita yang harus terus kita tingkatkan. Dimana seharusnya impornya lebih kecil daripada ekspornya.
“Perlu akselesari atau percepatan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sektor rill. Terutama sektor ekonomi mikro UKM, IKM, UMKM, Koperasi dan ekonomi berbasis kerakyatan. Perhatian dan kepedulian pada usaha mikro harus di maksimalkan agar bisa meningkatkan ekspor kedepannya,” jelas Bustan saat diwawancarai, Senin (12/01/2020) di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat.
Memang kata Bustan, selama bertahun-tahun ekonomi Indonesia berbasis pada komoditas dan selalu mengekspornya dalam bentuk bahan mentah atau raw material. Oleh karena itu, ke depannya Bustan ingin agar Indonesia bisa mengekspor komoditas tersebut dalam bentuk bahan setengah jadi atau bahan jadi.
“Untuk itu perlu dikawal penguatan ekonomi melalui hilirisasi industri dan industrialisasi. Perlu melibatkan pelaku ekonomi sektor rill atau steak ekonomi mikro untuk percepatan,” tandas Bustan.
Menurut Bustan, sebagai mana contoh minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Indonesia saat ini memiliki 13 juta hektare kebun kelapa sawit dengan produksi kurang lebih 46 juta ton per tahun.
“Sudah seharusnya pemerintah mendukung produksi per hektare bisa dilipatgandakan. Sedangkan produksi minyak kelapa sawit Indonesia bisa ditingkatkan mencapai hampir 100 juta ton lebih,” tukas Bustan Direktur PT Mall Pinrang Sejahtera ini.
“Apa yang ingin saya sampaikan? Jangan lagi kita mengekspor CPO itu terus-terusan. Harus mulai kita ubah pada barang setengah jadi atau barang jadi. Ini yang telah kita lakukan,” ungkapnya.
Menurutnya, jika Indonesia hanya mengekspor minyak kelapa sawit dalam bentuk mentah, Indonesia akan selalu dipermainkan oleh pasar. Misalnya, Uni Eropa yang memunculkan isu bahwa minyak kelapa sawit tidak ramah lingkungan.
Katanya, karena sawit kita saat ini bisa lebih murah dari minyak bunga matahari yang dihasilkan oleh mereka. Hal ini dikarenakan juga adanya perang bisnis antarnegara, perang ekonomi antarnegara, dan sebagainya, sehingga alasan ini dipakai terus menerus.
“Indonesia saatnya mulai memanfaatkan minyak kelapa sawit tersebut sebagai bahan campuran untuk produk biodiesel melalui program B20 tahun lalu, yang kini sudah beranjak menjadi B30. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu khawatir jika minyak kelapa sawit Indonesia tidak diminati oleh pasar karena kita pakai untuk kebutuhan sendiri,” jelas Bustan.
Ia menambahkan bahwa, dengan menjadikan CPO kita ke B30, kita menghemat kurang lebih Rp110 triliun per tahun. Kata Bustan nanti kalau sampai menuju ke B50, malah bisa mencapai Rp200 triliun.
“Bahkan kalau B100, bisa dibayangkan bahwa kita sudah tidak impor minyak lagi. Semua yang kita pakai adalah green fuel, yang kita pakai adalah biodiesel, Nantinya semuanya ramah lingkungan,” tambah Bustan yang juga praktisi bidang ekonomi mikro ini.
Bukan hanya kelapa sawit, hilirisasi industri juga bisa diterapkan pada komoditas lain, misalnya nikel, bauksit, timah, batu bara, hingga kopra. Kedepannya komoditas-komoditas tersebut akan diekspor dalam bentuk jadi.
“Pemerintah perlu strategi besar kedepannya jika ingin menjadikan nikel ini lithium baterai yang dipakai untuk mobil listrik, electric vehicle. Indonesia kan produsen terbesar nikel terbesar di dunia,” katanya.
Memang kata Bustan, penerapannya tidak akan mudah. Karena itu Bustan mendukung Presiden Jokowi memiliki strategi ekonomi dan strategi bisnis besar dalam rangka merancang sebuah pembangunan jangka pendek, menangah dan panjang, agar Indonesia menjadi eksportir bahan mentah terbesar secara konsisten.
“Nikel bisa untuk lithium baterai. Indonesia perlu riset yang terus kita lakukan agar nanti lithium baterai yang kita harapkan dalam 2-3 tahun akan ketemu. Pastinya harga nikel nantinya memiliki tingkat ekonomi tinggi di pasar dunia,” ungkap Bustan.
Terakhir kata pria asal Pinrang ini, Indonesia harus berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan.
“Intinya Pak Jokowi harus bisa berdikari di bidang ekonomi. Sehingga kita tidak mudah lagi ditekan-tekan lagi oleh negara manapun di bidang apapun dan rakyat berdaulat atas kekayaan sumber daya alamnya,” tegas Bustan mengakhiri wawancaranya. (red)
Penulis: Syafrudin Budiman SIP
Publizher/Redaksi : Andi Jumawi