Batal Demi Hukum atas Perbuatan Hukum Polri Aktif di Jabatan Sipil
Ancaman Cacat Wewenang Pasca-Penghapusan Mekanisme Penugasan Kapolri
Jakarta 24 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
- Pendahuluan: Konstitusionalitas Jabatan dan Wewenang
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menandai tonggak sejarah penting dalam penataan ulang hubungan antara lembaga kepolisian (Polri) dengan jabatan sipil (kementerian/lembaga negara). Putusan ini secara efektif membatalkan frasa atau ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) yang selama ini menjadi dasar hukum bagi penugasan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan non-kepolisian.
Inti dari putusan ini adalah penegasan kembali bahwa Polri aktif wajib mengundurkan diri atau pensiun jika ingin menjabat posisi sipil, demi menjaga prinsip netralitas dan profesionalisme Polri serta mencegah tumpang tindih kewenangan.
Implikasi paling serius dari putusan ini, terutama bagi anggota Polri aktif yang memilih untuk tetap menjabat di posisi sipil, adalah potensi besar bahwa seluruh perbuatan hukum dan keputusan administrasi yang mereka terbitkan akan dinyatakan batal demi hukum (null and void by law) karena adanya cacat wewenang (onbevoegheid) yang fundamental.
- Prinsip Batal Demi Hukum Akibat Cacat Wewenang
Dalam hukum administrasi negara, sahnya suatu tindakan atau keputusan hukum (misalnya, Surat Keputusan, peraturan menteri, atau penetapan kebijakan) sangat bergantung pada dua pilar utama: yurisdiksi dan kewenangan pejabat yang bertindak.
- Inkonsistensi dengan Konstitusi (Sumber Cacat)
Dengan berlakunya Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025, dasar hukum bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil telah dicabut. Jabatan yang dipegang oleh pejabat yang seharusnya sudah melepaskan status ke-Polisiannya menjadi inkonstitusional.
- Pelanggaran Syarat Substantif: Pejabat tersebut dianggap telah melanggar syarat substantif untuk menjabat posisi sipil, yaitu keharusan berstatus sipil (pensiun/mengundurkan diri dari dinas Polri).
- Kewenangan Tidak Sah: Kehadiran pejabat yang tidak memenuhi syarat konstitusional (karena masih berstatus aktif) di jabatan sipil berarti ia tidak memiliki kewenangan sah (legitimate authority) untuk menggunakan fungsi dan kekuasaan jabatan tersebut.
- Konsekuensi Hukum (Batal Demi Hukum)
Apabila suatu tindakan hukum dilakukan oleh pejabat yang tidak memiliki kewenangan yang sah (onbevoegde ambtenaar), maka tindakan tersebut akan dianggap batal demi hukum atau tidak pernah ada secara hukum sejak awal (ab initio).
Prinsip ini sangat keras karena menyangkut legitimasi sumber kekuasaan. Keputusan yang batal demi hukum dapat dibatalkan melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau di tingkat peradilan lain.
III. Analogi Kasus: Yusril Ihza Mahendra vs. Jaksa Agung Hendarman Supandji
Kasus Putusan MK Tahun 2010 (Nomor 22/PUU-VIII/2010) yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra terhadap keabsahan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji memberikan ilustrasi sempurna mengenai konsekuensi inkonstitusionalitas jabatan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan.
- Cacat Wewenang dalam Kasus Hendarman
- Objek Cacat: MK menyatakan bahwa masa jabatan Hendarman Supandji secara hukum telah berakhir pada 20 Oktober 2009, seiring berakhirnya Kabinet yang mengangkatnya. Sejak tanggal tersebut, jabatan Jaksa Agung yang dipegang Hendarman dianggap tidak sah (ilegal secara konstitusional).
- Konsekuensi Hukum: Yusril berargumen bahwa karena Hendarman memegang jabatan secara ilegal, maka seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinannya, termasuk penetapan dirinya sebagai tersangka kasus Sisminbakum, harus batal demi hukum.
- Relevansi dengan Putusan 114/PUU-XXIII/2025
Dalam konteks Polri aktif:
| Aspek | Kasus Hendarman Supandji (MK 2010) | Kasus Polri Aktif di Sipil (MK 2025) |
| Penyebab Cacat | Masa jabatan kadaluwarsa karena pergantian Kabinet. | Status keaktifan Polri melawan syarat konstitusional (harus pensiun/mundur). |
| Sifat Cacat | Jabatan dipegang secara tidak sah (ilegal). | Jabatan dipegang oleh orang yang salah (tidak memenuhi syarat). |
| Potensi Risiko | Semua tindakan Hendarman/Kejagung berpotensi batal demi hukum. | Semua Surat Keputusan (SK), peraturan, dan kebijakan yang diterbitkan oleh Polri aktif di jabatan sipil berpotensi batal demi hukum. |
Jika Hendarman Supandji—seorang pejabat yang statusnya sempat sah namun masa jabatannya dipermasalahkan—saja menghadapi risiko pembatalan tindakan hukum, maka pejabat Polri aktif yang status keberadaannya di jabatan sipil dinyatakan inkonstitusional oleh MK memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dan lebih langsung terhadap batal demi hukum atas setiap keputusan yang mereka ambil.
- Kesimpulan dan Tindak Lanjut
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menciptakan kondisi darurat hukum di mana status jabatan anggota Polri aktif di posisi sipil menjadi sangat rentan.
Untuk menghindari kekacauan administrasi dan ketidakpastian hukum yang luas, Pemerintah dan institusi terkait (termasuk Polri dan lembaga-lembaga yang menampung anggotanya) harus segera:
- Penarikan Segera: Melakukan penarikan kembali (reposisi) anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil non-struktural Polri.
- Keputusan Pilihan: Memberikan tenggat waktu yang jelas bagi anggota Polri yang bersangkutan untuk memilih: mundur dari dinas Polri atau mundur dari jabatan sipil.
- Transisi Kewenangan: Melakukan serah terima kewenangan kepada Pelaksana Tugas (Plt.) atau pejabat yang memenuhi syarat konstitusional untuk memastikan kontinuitas fungsi kementerian/lembaga.
Kegagalan dalam menindaklanjuti putusan ini secara cepat akan membuka peluang gugatan hukum secara masif, yang pada akhirnya dapat membatalkan kebijakan publik yang telah diambil oleh pejabat yang kewenangannya cacat.
Redaksi/Publizher : Andi Jumawi
















