Pegunungan Tengah, Papua – INDEKS.co.id – Kabut tebal menyelimuti lereng-lereng Pegunungan Tengah saat aroma tanah basah bercampur udara dingin menyambut pagi. Di tengah lanskap yang keras itu, kehangatan justru datang dari senyum tulus warga Kampung Wombru, menyambut kedatangan prajurit Satgas Yonif 700/Wira Yudha Cakti yang membawa lebih dari sekadar tugas keamanan—mereka membawa harapan.
Hari itu, Pos Pintu Jawa menjelma menjadi klinik darurat. Di balik tembok sederhana pos penjagaan, suara detak jantung terdengar lebih nyaring daripada denting senjata. Stetoskop, tensimeter, dan perban menggantikan amunisi—sebuah transformasi yang mencerminkan misi kemanusiaan.
“Ini bukan karena paksaan, tapi panggilan hati,” ujar Wilyanus, Ketua Kampung Wombru, sembari menatap anak-anak yang mengantre riang untuk mendapat pemeriksaan kesehatan. Di sampingnya, tokoh adat Mageo Murib menimpali, “Mereka datang bukan sebagai prajurit, tapi sebagai saudara.”
Letnan Dua Infanteri Risal, Komandan Pos Pintu Jawa, terlihat sibuk mengobati luka seorang lansia. Tangannya yang terbiasa memegang senapan kini membalut luka dengan lembut—sebuah simbol transformasi peran TNI di pedalaman Papua.
“Kami hadir untuk mendengar, bukan hanya menjaga,” ucapnya singkat namun penuh makna.
Di sudut lain, tawa anak-anak pecah ketika seorang prajurit membagikan permen. Sederhana, namun menjadi ‘obat manis’ bagi jiwa-jiwa kecil yang jarang bersentuhan dengan layanan medis.
Meski medan Papua kerap tak ramah, kehadiran prajurit dengan pendekatan humanis menghangatkan suasana. Bagi warga, ini bukan sekadar kegiatan sosial, tapi bentuk nyata dari kepedulian negara.
“Kami memang jauh dari kota, tapi tak pernah jauh dari perhatian,” bisik Mageo Murib, menatap bukit seolah menyimpan harapan.
Di tanah di mana akses kesehatan masih menjadi kemewahan, seragam hijau itu mengingatkan: terkadang, tugas mulia seorang prajurit bukanlah mengangkat senjata, tetapi hadir sebagai penawar bagi luka yang tak kasatmata.
(Tim Redaksi INDEKS.co.id | Editor: Andi Jumawi)