Jakarta 7 Mei 2025
Oleh: Laksda TNI Soleman B Ponto, ST, SH, MH ,CPM, CPARB*)
I. PENDAHULUAN
Permintaan bantuan pengamanan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Kejaksaan Republik Indonesia menjadi polemik yang mengandung dimensi hukum, tata negara, serta keamanan nasional. Secara faktual, terdapat kondisi ancaman terhadap integritas dan keselamatan fisik institusi Kejaksaan dan para jaksa, terutama dalam penanganan perkara-perkara besar yang melibatkan kekuatan bersenjata atau jaringan terorganisir. Situasi ini memunculkan pertanyaan: apakah permintaan tersebut dapat dibenarkan secara hukum? Dalam opini ini, penulis akan mengelaborasi isu tersebut dengan pendekatan teori hukum (positivisme, hukum responsif, dan wewenang hukum) serta filsafat hukum (Aristoteles, Hobbes, dan Radbruch).
II. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF TEORI HUKUM
1. Teori Positivisme Hukum (Hans Kelsen)
Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum berlaku jika diturunkan dari norma yang lebih tinggi dalam sistem hierarki hukum. Dalam konteks permintaan bantuan TNI oleh Kejaksaan, walaupun tidak ada norma eksplisit dalam UU Kejaksaan, tindakan tersebut dapat didasarkan pada:
– Pasal 10 dan Pasal 30 UUD 1945 yang menyebutkan fungsi Presiden dan TNI dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara.
– Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur tugas OMSP (Operasi Militer Selain Perang), termasuk pengamanan objek vital nasional.
Secara positivistik, tindakan Kejaksaan sah jika bersumber dari norma yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan sistem hukum yang ada.
2. Teori Hukum Responsif (Philippe Nonet & Philip Selznick)
Teori hukum responsif menekankan bahwa hukum harus adaptif terhadap kebutuhan sosial dan realitas empiris. Ancaman terhadap Kejaksaan dapat melemahkan fungsi penegakan hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Dalam situasi tersebut, hukum tidak boleh kaku atau bersifat prosedural semata. Permintaan bantuan kepada TNI adalah bentuk respons terhadap kebutuhan riil, demi menjamin eksistensi dan fungsi lembaga hukum.
3. Teori Wewenang Hukum (H.L.A. Hart)
Menurut H.L.A. Hart, sistem hukum terdiri dari aturan primer (perintah substantif) dan aturan sekunder (prosedur pelaksanaan). Permintaan bantuan kepada TNI oleh Kejaksaan dapat dikategorikan sebagai penggunaan aturan sekunder, yaitu dalam hal pelaksanaan tugas penegakan hukum yang menghadapi hambatan keamanan. Sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan aturan primer, maka secara normatif ia dapat diterima.
III. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM
1. Aristoteles dan Keadilan Protektif
Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan korektif, namun dalam konteks negara modern dapat ditarik konsep keadilan protektif, yaitu negara wajib melindungi instrumen-instrumen keadilan dari ancaman kekerasan. Jika jaksa tidak dapat bekerja karena rasa takut terhadap ancaman, maka negara telah gagal menjalankan keadilan.
2. Thomas Hobbes dan Leviathan
Dalam teori Hobbes, negara dibentuk untuk menghindari kekacauan dan menjamin keselamatan warganya dari ancaman. Negara memiliki legitimasi penuh untuk menggunakan seluruh perangkat kekuatannya, termasuk militer, untuk memastikan stabilitas. Dalam kerangka Leviathan, TNI adalah bagian dari kekuatan negara yang sah untuk dikerahkan demi menjaga institusi hukum dari potensi kekerasan yang tidak dapat ditangani oleh kepolisian.
3. Gustav Radbruch dan Supremasi Keadilan
Radbruch menyatakan bahwa hukum yang ekstrem tidak adil bukanlah hukum. Dalam kondisi darurat, supremasi keadilan harus didahulukan dibanding kepastian hukum prosedural. Jika Kejaksaan menghadapi ancaman dan negara tidak memberikan perlindungan, maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan itu sendiri. Bantuan TNI bukan pelanggaran hukum, tetapi pemulihan terhadap keadilan yang lebih tinggi.
IV. ANALOGI DENGAN PASAL 34 UU KEPABEANAN
Pasal 34 UU 39/2007 tentang perubahan atas UU 11/ 1995 tentang Cukai memberikan dasar eksplisit kepada pejabat bea dan cukai untuk meminta bantuan TNI dan Polri. Jika lembaga administratif seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diizinkan secara hukum untuk meminta dukungan kekuatan militer, maka analoginya Kejaksaan yang berperan sebagai institusi inti penegakan hukum tentu lebih layak dan mendesak untuk memperoleh bantuan serupa dalam menghadapi risiko sistemik terhadap tugas konstitusionalnya.
V. KESIMPULAN
Permintaan bantuan pengamanan dari TNI oleh Kejaksaan RI dapat dibenarkan secara hukum berdasarkan pendekatan positivistik (sumber norma dari UU TNI dan UUD 1945), responsif (menjawab kebutuhan perlindungan institusi hukum), dan teori wewenang hukum. Dalam perspektif filsafat hukum, hal ini adalah perwujudan dari keadilan protektif (Aristoteles), kekuasaan sah negara (Hobbes), dan supremasi nilai keadilan atas prosedur (Radbruch). Analogi dengan Pasal 34 UU Kepabeanan memperkuat argumentasi legal bahwa kerjasama antara institusi sipil dan militer dalam konteks pengamanan bukanlah penyimpangan hukum, melainkan pelaksanaan prinsip negara hukum yang adil, kuat, dan responsif.
Demikian opini hukum ini disusun untuk memberikan landasan yuridis dan filosofis bagi tindakan koordinatif dan preventif antara Kejaksaan dan TNI demi menjaga supremasi hukum di Indonesia.
*)KABAIS TNI 2011-2013
Redaksi/Publizher : Andi Jumawi