Jakarta 12 mei 2025
Oleh: Soleman B. Ponto
Purnawirawan Laksda TNI, Mantan Kepala BAIS TNI 2011–2013
Kejaksaan adalah benteng terakhir negara dalam menegakkan hukum dan memberantas kejahatan. Namun, tidak banyak disadari bahwa institusi ini sering menjadi sasaran ancaman—bukan hanya tekanan politik, tetapi juga intimidasi bersenjata dari kelompok-kelompok yang merasa terancam oleh proses hukum.
Di tengah situasi seperti itu, muncul pertanyaan: siapa yang menjaga para penegak hukum ketika mereka sedang menjalankan tugas menegakkan keadilan?
Kita tahu bahwa Polri memiliki tugas utama menjaga ketertiban masyarakat. Mereka hadir di tengah masyarakat untuk mengatur lalu lintas, menangani demonstrasi, menjaga unjuk rasa, dan menangkap pelaku kejahatan umum. Namun, ketika ancaman terhadap Kejaksaan bukan lagi sekadar keributan massa, melainkan teror, sabotase, atau balas dendam sistematis, maka skala ancamannya sudah melampaui fungsi polisi.
Di titik inilah peran TNI menjadi relevan. TNI tidak ditugaskan untuk mengatur lalu lintas atau mengamankan demonstrasi. TNI hadir untuk menjaga dan mewujudkan keamanan negara, khususnya bila terdapat ancaman strategis terhadap institusi vital negara.
Kita harus menyadari: ancaman terhadap Kejaksaan bersifat permanen, karena Kejaksaan berurusan dengan koruptor, mafia, jaringan terorganisir, bahkan pelanggar HAM. Tidak sedikit jaksa yang diteror, diikuti, bahkan ditargetkan. Dalam konteks seperti ini, sangat masuk akal jika negara melibatkan kekuatan militer untuk melindungi institusi ini secara fisik.
Peran TNI tentu harus dibatasi dan dikendalikan. Mereka tidak boleh mencampuri proses hukum, tidak boleh menekan jaksa, dan tidak boleh menjadi alat kekuasaan. TNI cukup menjalankan perannya dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yakni pengamanan objek vital strategis. Gedung Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri, bisa dikategorikan sebagai objek vital, karena fungsinya menyangkut keselamatan hukum negara.
Kita tidak bicara tentang “militerisasi penegakan hukum”, tapi tentang perlindungan strategis terhadap aparat penegak hukum yang berisiko tinggi.
Masyarakat harus paham, bahwa negara hukum bukan sekadar soal tertib hukum, tapi juga keamanan hukum. Supaya hukum bisa ditegakkan dengan adil, maka penegaknya harus merasa aman. Maka ketika jaksa terancam, kehadiran tentara bukanlah penyimpangan, melainkan bentuk tanggung jawab negara.
Jangan sampai kita membiarkan jaksa bertugas dalam ketakutan, sementara negara menutup mata. Jika negara tidak melindungi para penegak hukum, lalu siapa lagi?
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi