Menjaga Bangsa dari Keruntuhan: Kegagalan Memaknai Dasar Negara sebagai Ancaman Kohesi Nasional
Jakarta 10 Mei 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM, CParb
(Kepala BAIS TNI 2011–2013)
Pendahuluan
Setiap bangsa membutuhkan landasan nilai bersama yang menjadi kekuatan pemersatu kolektif. Di Indonesia, nilai tersebut diyakini sebagai ‘Pancasila’. Namun, istilah ini tidak tertulis secara eksplisit dalam UUD 1945 sebagai dasar negara. Yang tertulis adalah lima sila dalam alinea keempat Pembukaan. Ketidaksesuaian antara simbol (nama) dan isi (sila) telah menimbulkan kerancuan dalam pemahaman masyarakat. Artikel ini akan membahas dampak psikologis, sosiologis, dan konstitusional dari kesenjangan ini.
Analisis Psikologi: Otak Tidak Menerima Makna yang Berubah-ubah
Dalam psikologi kognitif, otak manusia membutuhkan struktur makna yang konsisten untuk dapat diinternalisasi. Penggunaan istilah ‘Pancasila’ yang multitafsir—kadang berarti Ketuhanan, kadang berarti Persatuan, dan kadang Keadilan Sosial—menyebabkan terjadinya disonansi kognitif. Rakyat kebingungan karena tidak ada acuan tetap yang bisa mereka pahami dan hayati. Hal ini membuat nilai-nilai dasar negara tidak tertanam dalam kesadaran kolektif.
Implikasi Sosiologis dan Pendidikan
Ketidakkonsistenan dalam memaknai dasar negara berdampak langsung pada pendidikan kewarganegaraan. Siswa diajarkan untuk menghafal urutan sila, namun tidak pernah dipandu untuk memahami atau menginternalisasi maknanya. Akibatnya, generasi muda hanya mengenal simbol tanpa substansi. Di tingkat masyarakat, kohesi sosial menjadi rapuh karena tidak ada satu narasi nilai yang dipegang bersama. Ini merupakan gejala awal dari disintegrasi.
Teori Kohesi dan Contoh Negara yang Runtuh
Émile Durkheim menekankan pentingnya solidaritas mekanik dalam mempertahankan kesatuan masyarakat. Benedict Anderson menjelaskan bahwa bangsa adalah komunitas yang ‘dibayangkan’ berdasarkan narasi bersama. Samuel Huntington dan Francis Fukuyama menunjukkan bahwa tanpa nilai bersama, negara akan mengalami delegitimasi dan disintegrasi. Runtuhnya Uni Soviet (1991), Yugoslavia (1990–1995), dan Sudan (2011) adalah contoh bahwa tanpa dasar negara yang dihayati secara kolektif, negara bisa hancur dari dalam tanpa perlu serangan luar.
Urgensi untuk Indonesia
Jika Indonesia terus mempertahankan istilah ‘Pancasila’ sebagai simbol tanpa menjabarkan dan menginternalisasi lima sila yang tertulis dalam UUD, maka negara ini akan kehilangan daya ikatnya. Kohesion force bangsa akan hilang, dan pada akhirnya, sebagaimana banyak negara lain dalam sejarah, Indonesia berisiko mengalami keruntuhan bukan karena serangan asing, tetapi karena kehilangan jati dirinya sendiri.
Fenomena di Indonesia: Gejala Disfungsi Kohesi Nilai
Situasi aktual di Indonesia menunjukkan gejala melemahnya kohesi nasional akibat ketidaktegasan makna dasar negara. Beberapa fenomena sosial dan politik berikut memperlihatkan bahwa simbol ‘Pancasila’ telah digunakan secara serampangan tanpa keterkaitan dengan isi nilai yang tertulis dalam UUD 1945.
Pertama, istilah ‘anti-Pancasila’ sering digunakan sebagai stempel untuk membungkam lawan politik atau kelompok yang mengkritik kebijakan negara. Tuduhan ini tidak mengacu pada pelanggaran terhadap sila tertentu, melainkan hanya berdasar pada persepsi loyalitas terhadap simbol. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila telah menjadi alat politik, bukan lagi nilai universal yang mengikat seluruh warga negara.
Kedua, beberapa undang-undang strategis seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba dinilai merugikan kelompok rentan dan lingkungan. Seandainya perumusan hukum tersebut berpijak pada sila ‘Keadilan Sosial’ dan ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, maka perlindungan terhadap buruh, petani, dan masyarakat adat semestinya menjadi prioritas utama. Namun, nihilnya referensi eksplisit terhadap lima sila menyebabkan hukum tidak berpijak pada nilai dasar negara yang sah.
Ketiga, kurikulum pendidikan kewarganegaraan masih menitikberatkan pada hafalan simbol, bukan penghayatan nilai. Siswa belajar menghafal urutan lima sila tanpa pernah diajak memahami bagaimana sila tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata. Ketika generasi muda tidak mengerti apa arti ‘Persatuan Indonesia’ dalam konteks keberagaman sosial, maka identitas nasional tidak terbentuk dengan kokoh.
Keempat, polarisasi sosial-politik semakin menguat dengan mengatasnamakan Pancasila, padahal tidak ada tolok ukur substantif yang dijadikan dasar. Kontestasi politik elektoral maupun identitas sering dibungkus oleh retorika ‘membela Pancasila’ atau ‘menyelamatkan Pancasila’, namun tanpa menyebutkan sila mana yang dijadikan rujukan dan bagaimana penerapannya secara konstitusional.
Kelima, lemahnya pemahaman dasar negara juga tercermin dalam ketidaksinambungan antara visi kebijakan nasional dan struktur pemerintahan daerah. Banyak kepala daerah yang menggunakan jargon Pancasila dalam pidato seremonial, tetapi kebijakannya justru memperkuat eksklusivitas, ketimpangan sosial, dan praktik oligarki.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini berada dalam fase simbolisasi nilai, bukan penghayatan. Tanpa langkah tegas untuk kembali kepada lima sila sebagai nilai dasar yang eksplisit dan operasional, kohesi bangsa akan terus melemah dan potensi disintegrasi akan makin terbuka.
Kesimpulan
Negara hanya dapat berdiri jika memiliki dasar nilai yang jelas, konsisten, dan dipahami bersama. Indonesia memiliki lima sila yang tertulis dalam konstitusi, namun selama istilah ‘Pancasila’ terus dijadikan simbol tanpa isi yang dapat dipegang, maka bangsa ini akan terus kehilangan arah. Saatnya kembali kepada makna, bukan nama. Hanya dengan itulah bangsa ini bisa bertahan secara utuh, adil, dan berdaulat.
Redaksi/Publizher : Andi Jumawi