Ketika Para Purnawirawan Bicara dan Kita Semua Diam
Jakarta 10 Mei 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
Purnawirawan sebagai Pemecah Spiral of Silence dalam Demokrasi Indonesia
Beberapa waktu lalu, sekelompok purnawirawan TNI membacakan sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan mereka tidak main-main: mengevaluasi proses pemilihan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, memulihkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi, serta menekankan pentingnya kembali ke semangat konstitusi dan reformasi 1998. Mereka turun ke jalan, berorasi, membacakan maklumat, dan menatap wajah bangsa yang sedang sunyi.
Sikap ini tentu mengundang berbagai reaksi. Ada yang memuji, ada pula yang mencibir. Tapi yang lebih menarik—dan sebetulnya mengkhawatirkan—adalah diamnya mayoritas rakyat. Di tengah tuntutan yang substansial itu, suara rakyat justru tidak terdengar. Tidak banyak aktivis berbicara, tidak banyak akademisi menanggapi, bahkan media pun meliput dengan hati-hati.
Fenomena ini bukan tanpa nama. Dalam teori komunikasi politik, ini disebut sebagai spiral of silence.
Konsep ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, yang menjelaskan bahwa orang cenderung diam jika merasa pandangannya berbeda dari opini yang dominan atau jika takut mengalami isolasi sosial. Di Indonesia, ini kian nyata. Banyak pegawai negeri, guru, wartawan, bahkan dosen, lebih memilih diam daripada berbicara. Takut dianggap “radikal”, takut kehilangan pekerjaan, takut dicap anti-pemerintah.
Diam kolektif ini menciptakan ilusi konsensus. Seolah-olah semua setuju, padahal banyak yang sebenarnya terluka, kecewa, dan kehilangan harapan. Dalam kondisi ini, satu-satunya harapan datang dari mereka yang tidak lagi punya beban birokrasi: para purnawirawan.
Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, mencuat sebagai sorotan nasional ketika diusung menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Masalah utama bukan pada sosoknya secara pribadi, melainkan pada proses hukum dan etika yang membuka jalan bagi pencalonannya.
Sebelum Oktober 2023, batas usia minimal untuk mencalonkan diri sebagai capres/cawapres adalah 40 tahun. Namun Mahkamah Konstitusi tiba-tiba mengeluarkan putusan yang mengubah syarat tersebut: orang di bawah 40 tahun boleh mencalonkan diri asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini sangat spesifik dan terkesan diarahkan pada Gibran—karena saat itu ia menjabat Wali Kota Solo dan berusia 36 tahun.
Masalahnya menjadi serius karena Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu adalah Anwar Usman, paman Gibran, yang kemudian dijatuhi sanksi etik oleh Majelis Kehormatan MK. Meskipun Anwar menyatakan tidak ikut memutus perkara, publik menilai adanya konflik kepentingan dan rekayasa hukum yang mencederai konstitusi.
Inilah titik yang memicu aksi purnawirawan: proses politik yang tampak dikuasai oleh kepentingan keluarga, hukum yang dimanipulasi, dan demokrasi yang terasa dikendalikan dari balik layar kekuasaan.
Bagi sebagian orang, aksi purnawirawan dianggap politis atau ambisius. Tapi secara psikologis, tindakan mereka justru merupakan bentuk koreksi moral terhadap arah negara. Mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk membela republik ini merasa terpanggil kembali, bukan karena kekuasaan, tapi karena negara yang mereka bela dulu terasa berubah wajah.
Dalam dunia militer, nilai-nilai seperti kejujuran, kehormatan, disiplin, dan cinta tanah air adalah fondasi. Ketika nilai-nilai itu dilanggar—terutama oleh institusi tertinggi seperti Mahkamah Konstitusi—purnawirawan merasakan yang disebut sebagai moral injury, yakni luka batin akibat pengkhianatan terhadap nilai yang diyakini suci.
Dan karena mereka tidak lagi terikat jabatan, mereka bisa bersuara. Mereka adalah anomali positif dalam spiral of silence—mereka memecah sunyi, agar republik tidak tertidur dalam ilusi.
Bayangkan jika para purnawirawan pun memilih diam. Tidak ada lagi kelompok yang punya legitimasi moral dan keberanian struktural untuk berbicara. Tidak ada lagi suara korektif dari dalam. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang menyesatkan.
Dan seperti panci tekanan tanpa katup, diam kolektif bisa berujung pada ledakan sosial yang tak terkendali. Kita telah melihatnya di banyak negara—dari Orde Baru 1998, ke Tunisia 2010, hingga Sri Lanka 2022.
Purnawirawan yang bicara bukan musuh negara. Mereka adalah cermin nurani bangsa. Mereka mengingatkan bahwa kekuasaan bukan segalanya, dan konstitusi bukan mainan.
Dalam negara demokrasi, kritik bukan ancaman. Justru sunyilah yang paling berbahaya. Maka ketika para penjaga republik sudah bicara, tugas kita bukan mengejek atau menertawakan, tapi mendengarkan, merenung, dan mulai berani berbicara.
Karena jika mereka yang telah mempertaruhkan nyawa untuk republik ini saja masih berani bersuara, mengapa kita diam?
Masalah Gibran: Apa yang Sudah Berlalu, dan Apa yang Masih Membekas
Proses pencalonan dan pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Indonesia memang sudah berlalu. Ia kini resmi menjadi Wapres terpilih dan apa yang dikehendaki oleh proses politik—sekalipun kontroversial—telah tercapai. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Namun tidak bagi semua orang.
Bagi para purnawirawan dan kelompok masyarakat yang kritis, yang tersisa bukan sekadar hasil pemilu, melainkan luka konstitusional yang belum sembuh. Luka ini bukan karena kalah atau menang dalam kompetisi, tapi karena proses yang dinilai mencederai etika, hukum, dan nilai keadilan. Mereka tidak sedang mempersoalkan pribadi Gibran semata, melainkan kerusakan sistemik yang telah dibiarkan terjadi demi tujuan politik jangka pendek.
Yang membuat para purnawirawan bicara bukan sekadar soal sosok Gibran, melainkan soal bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa ‘dibengkokkan’, bagaimana konflik kepentingan bisa dibiarkan, dan bagaimana demokrasi bisa dikendalikan oleh satu poros kekuasaan tanpa ada pertanggungjawaban moral.
Bagi mereka, ini bukan soal masa lalu, tapi soal masa depan bangsa. Jika pelanggaran etika dan hukum bisa dibenarkan hari ini, maka ke depan bisa lebih parah. Jika suara nurani dibungkam hari ini, maka kelak tak akan ada lagi penjaga republik yang berani bersuara. Inilah yang tersisa, dan inilah alasan mereka memilih turun ke jalan.
Purnawirawan bukan sedang mencari posisi atau panggung. Mereka sedang mencoba menyelamatkan demokrasi dari pembusukan senyap. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi apa yang masih akan terjadi bisa dicegah—dan itu hanya mungkin jika masih ada yang berani bicara.
*)KABAIS TNI 2011-2013
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi