Jum’at 2 Mei 2025
Gowa, INDEKS.co.id – Sengketa lahan yang terletak di Dusun Rappo Lemba, Desa Rappo Lemba, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) kembali mencuat ke permukaan setelah seorang pria yang dikenal dengan nama Daeng Raja mengklaim sebagai pemilik sah lahan tersebut.
Berdasarkan hasil investigasi tim Indeks, konflik ini bermula pada tahun 2007 ketika Daeng Raja mendatangi seorang warga bernama Jumasiah di lokasi lahan yang disengketakan. Kepada Jumasiah, Daeng Raja mengaku sebagai pemilik lahan dan meminta agar lahan tersebut dibayar atau “dimahar”. Ia menegaskan, jika Jumasiah tidak percaya, ia bersedia membuktikan klaimnya asalkan diberikan ongkos transportasi ke Palopo untuk mengambil dokumen rinci (rente) yang disebut-sebut menjadi dasar kepemilikannya.
Jumasiah, yang saat itu menanggapi dengan terbuka, menyatakan bersedia membeli lahan tersebut asalkan Daeng Raja dapat membuktikan kepemilikannya secara sah. Ia pun memberikan uang transportasi sebesar Rp500.000 kepada Daeng Raja. Dalam perjanjiannya, Daeng Raja berjanji akan kembali membawa bukti kepemilikan dalam waktu satu tahun.
Namun, janji tinggal janji. Bukannya kembali pada tahun 2008 sesuai kesepakatan, Daeng Raja baru muncul kembali delapan tahun kemudian, yakni pada 2015, tanpa membawa dokumen apa pun yang dijanjikan.
Pada tahun 2023, Daeng Raja kembali mendatangi Jumasiah, kali ini dengan penawaran lain: jika tidak mau membeli, maka lahan tersebut sebaiknya digadaikan saja. Namun Jumasiah menolak, dengan alasan telah mengantongi surat rekomendasi dari pihak Kehutanan yang menunjukkan dirinya sebagai penggarap resmi lahan.
Tidak berhenti di situ, Jumasiah kemudian dipanggil ke kantor desa oleh Kepala Desa Haring yang saat itu masih menjabat. Di sana, ia diminta membayar sebesar Rp15 juta untuk lahan tersebut, sesuai permintaan Daeng Raja. Namun Jumasiah menolak setelah mendapat saran dari mantan Kepala Dusun Pao yang menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan wilayah kehutanan dan Jumasiah memiliki dokumen legal berupa surat rekomendasi dari Dinas Kehutanan.
Penolakan Jumasiah memicu pergeseran pertemuan ke kantor Kecamatan Tompo Bulu. Dalam pertemuan tersebut, Jumasiah dan keluarganya mengaku mendapat tekanan untuk menandatangani dokumen, bahkan cap jempol dipaksakan kepada orang tua Jumasiah. Salah satu anggota TNI dari Koramil turut hadir saat pertemuan itu, namun penyelesaian masih belum ditemukan karena adanya dugaan keputusan sepihak.
Memasuki tahun 2025, Daeng Raja kembali melaporkan klaim kepemilikan lahan ke kantor camat. Ia mengaku memiliki dokumen rincian, namun hingga saat ini belum pernah menunjukkan bukti fisik yang sesuai. Bahkan, dokumen yang sempat diperlihatkan menunjukkan data objek lahan berbeda dengan luas yang diklaim — yakni seluas 3.800 meter persegi, sementara lahan yang disengketakan hanya seluas 2.000 meter persegi.
Daeng Misi, suami dari Jumasiah, dalam keterangannya kepada tim investigasi mengaku telah menggarap lahan tersebut lebih dari 50 tahun, bahkan jauh sebelum adanya rekomendasi dari pihak kehutanan. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2000, dua petugas dari Dinas Kehutanan, yakni Pak Rafi dan Pak Jafar, datang melakukan pengukuran untuk penerbitan surat rekomendasi resmi atas nama dirinya guna mengelola lahan sebagai sumber penghidupan, termasuk menanam kopi.
Hingga kini, belum ada penyelesaian yang adil dan transparan. Warga berharap pemerintah daerah serta aparat penegak hukum dapat turun tangan untuk menyelesaikan kasus ini secara objektif, agar tidak terjadi ketimpangan hukum dan intimidasi terhadap masyarakat kecil yang telah lama menggantungkan hidupnya dari tanah tersebut.(Tim/Ismail Lilik)
Redaksi/Editor/Publizher : Andi Jumawi