KENDARI, indeks.co.id — Sejumlah pemerhati hukum Sulawesi Tenggara (Sultra) melakukan aksi protes dan dukungan di Pengadilan Negeri (PN) Buton dan Kota Kendari pada Selasa, 14 Januari 2025.
Aksi unjuk rasa ini merupakan bentuk protes untuk mengawal perkara dugaan Korupsi Gedung Expo Buton yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Buton. Aksi ini dilakukan secara serentak di dua lokasi, yaitu di Kabupaten Buton dan Kota Kendari.
Aksi protes yang dipimpin oleh Ketua Pemerhati Hukum Kabupaten Buton, Wahyu, S.H., di Kabupaten Buton, dan oleh Adin, juga dari Pemerhati Hukum Sultra, di Kota Kendari, bertujuan agar pengadilan negeri Baubau menilai perkara Gedung Expo dengan penuh keadilan. Mereka menyoroti bahwa dari kedua alat bukti yang digunakan, tidak mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi (Tipikor).
Massa aksi menyatakan bahwa dalam penetapan tidak terpenuhi unsur dari kedua alat bukti baik secara formil maupun materil, di mana bukti materil seperti kerugian negara yang diungkapkan oleh BPK dan BPKP tidak ditemukan. Selain itu, telah terjadi pengembalian kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga, ungkap massa aksi.
Berdasarkan hal tersebut, Aliansi Pemerhati Hukum mendesak pengadilan negeri untuk menilai putusan dengan prinsip keadilan hukum. Mereka menyoroti pelanggaran yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Buton terhadap Putusan Mahkamah Agung nomor 23 tahun 2013, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 14 tahun 2016, dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), memperhatikan pendapat ahli BPK yang dihadirkan dalam kasus ini.
Dalam penjelasan mereka, massa aksi menekankan bahwa kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagaimana dijelaskan dalam Putusan MK nomor 54/PUU-XII/2014. Hal ini sejalan pula dengan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021, yang tidak memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menghitung kerugian keuangan negara.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA nomor 2 tahun 2024 yang menjelaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan konstitusional untuk menentukan apakah terdapat kerugian keuangan negara. Sementara instansi lain seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat, Akuntan Publik bersertifikasi, hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, tegas massa aksi.
Dengan pertimbangan tersebut, massa aksi meminta agar Pengadilan Negeri Buton memutus perkara ini dengan objektivitas demi memenuhi aspek keadilan hukum.(AJM)
Redaksi/Editor : Andi Jumawi