Koneksitas dalam KUHP dan RUU KUHAP Baru: Sebuah Parodi Hukum yang Membingungkan
INDEKS.CO.ID
Jakarta 09 Januari 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)
I.Pendahuluan.
Di dunia hukum pidana Indonesia, koneksitas selama ini dikenal sebagai jembatan sakral yang memisahkan dan sekaligus menyatukan peradilan militer dan peradilan umum. Namun, belakangan ini, koneksitas menjadi korban “revolusi konsep” dalam RUU KUHAP baru. KUHP yang baru saja disahkan melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 mengatur dengan serius soal koneksitas. Bahkan, Pasal 66 ayat (5) memberi ruang pidana tambahan dalam kasus koneksitas. Tapi tunggu dulu, RUU KUHAP baru justru ingin “menghilangkan” koneksitas seperti menghapus chat mantan yang bikin baper.
Jelas, ini seperti menaruh dua kuda dalam satu kereta tetapi dengan tali kekang yang berbeda arah. Di satu sisi, KUHP bilang, “Ayo kita tegakkan koneksitas.” Di sisi lain, RUU KUHAP bilang, “Ngapain pake koneksitas? Kita pindahin TNI ke peradilan umum saja.” Bagaimana ini bisa terjadi? Ayo kita bahas, tapi dengan senyum dan sedikit humor, karena membahas hukum berat sambil tertawa itu tetap sehat.
II. Koneksitas dalam KUHP: Sebuah Cinta Lama yang Tidak Pernah Padam.
KUHP baru tampaknya sangat setia dengan konsep koneksitas. Dalam Pasal 66 ayat (5), koneksitas diberikan tempat yang terhormat dengan adanya pidana tambahan untuk perkara koneksitas. Seolah-olah, KUHP berkata, “Koneksitas itu penting, karena bagaimana kita bisa menangani pelaku dari militer dan sipil dalam satu perkara tanpa melibatkan mekanisme ini?”
Namun, KUHP juga seperti pasangan yang terlalu romantis. Ia memberikan segala penghormatan kepada koneksitas, tapi lupa bahwa di luar sana ada pasangannya yang kurang setia: RUU KUHAP baru. Ini seperti satu orang bilang, “Saya sayang kamu,” tapi yang lain balas, “Maaf, saya sudah tidak butuh kamu lagi.”
III.RUU KUHAP: Penghapus Koneksitas atau Inovator Radikal?
Di dalam paragraf 13 Penjelasan RUU KUHAP, ada kalimat yang cukup kontroversial: “Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini.” Wah, ini seperti mengatakan bahwa koneksitas adalah dinosaurus yang sudah tidak relevan dalam ekosistem hukum modern.
Lebih parahnya, paragraf itu menyiratkan bahwa TNI harus tunduk pada peradilan umum, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana Militer (KUHPM) menentukan lain. Jadi, peran koneksitas yang selama ini jadi jembatan antara dua dunia dihapus begitu saja. Apa alasannya? “Keinginan adanya penundukan militer ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Serius? Ini seperti mengundang tentara masuk ke rumah orang sipil tanpa sepatu, lalu bilang, “Ya sudah, ikut aturan rumah ini saja.”
IV. Bertentangan dengan UUD 1945: TNI sebagai Penegak Kedaulatan Mari kita bicara serius sebentar. TNI adalah penegak kedaulatan negara, bukan bagian dari struktur masyarakat sipil. UUD 1945 dengan tegas mengatur fungsi militer sebagai pelindung kedaulatan negara, yang tentunya memiliki karakteristik unik yang tidak bisa disamakan dengan masyarakat sipil.
Menghilangkan koneksitas dan memaksakan anggota TNI tunduk pada peradilan umum tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga mengabaikan sifat dasar tugas militer. Bayangkan seorang prajurit yang sedang bertugas menjaga perbatasan, tiba-tiba harus menghadapi proses hukum di pengadilan umum hanya karena tindakannya bersinggungan dengan pelaku sipil. Bukankah ini melemahkan fungsi pertahanan negara?
V. Kesimpulan: Antara Cinta dan Ironi
Koneksitas adalah salah satu mekanisme hukum yang tidak hanya menjamin keadilan tetapi juga menjaga keseimbangan antara yurisdiksi sipil dan militer. KUHP baru memahami pentingnya koneksitas, tetapi RUU KUHAP tampaknya mencoba “move on” dari konsep ini tanpa alasan yang jelas.
Jika koneksitas dihapus, kita berisiko menciptakan kebingungan hukum yang bisa berujung pada ketidakadilan, baik bagi sipil maupun militer. Maka dari itu, mari kita harap para konseptor hukum tidak bermain-main dengan mekanisme koneksitas ini. Karena, jujur saja, koneksitas itu seperti jembatan cinta: kalau dihancurkan, semua pihak akan susah bertemu.
Jadi, sebelum kita terlalu jauh “menghapus” koneksitas, mari kita renungkan: apa jadinya sistem hukum kita tanpa jembatan ini? Akan jadi apa TNI, dan akan jadi apa supremasi hukum kita? Semoga jawaban yang kita dapat tidak menjadi ironi yang pahit.
*)Kabais TNI (2011-2013)
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi