Dikisahkan ada seorang wanita kaya yang dikenal pemurah, Ummu Ja’far namanya. Kedermawanan Ummu Ja’far masyhur di kalangan masyarakat, bahkan 2 pengemis buta pun mengetahui hal itu.
Setiap hari, 2 pengemis buta menunggu Ummu Ja’far di pinggir jalan yang biasa dilaluinya. Ketika ‘bekerja’, kedua pengemis buta ini punya harapan dan permintaan yang berbeda dengan ucapan doa yang juga berbeda.
“Ya Allah, anugerahkan rezeki kepadaku dari kemurahan-Mu,” ucap pengemis buta pertama.
“Ya Allah, anugerahkanlah rezeki kepadaku dari kemurahan Ummu Ja’far,” ucap pengemis buta kedua.
Demikian doa yang diucapkan keduanya, sebagaimana diungkap As-Samarqandi dalam kitab Nailul Hatsits fi Hikayatil Hadits (Abu Hafs Umar bin Hasan An-Naisaburi As-Samarqandi, Nailul Hatsits fi Hikayatil Hadits, [Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, 2001] halaman 62).
Mengetahui hal itu, Ummu Ja’far segera memberikan sedekahnya kepada kedua pengemis tersebut dengan nilai yang berbeda.
Kepada pengemis pertama yang mengharap rezeki dari Allah, Ummu Ja’far memberinya uang 2 dinar. Selanjutnya, untuk pengemis kedua yang mengharap rezeki dari Ummu Ja’far, diberikan 2 adonan roti dan ayam bakar yang di dalamnya telah diselipkan uang 10 dinar.
Merasa tidak dapat uang, pengemis kedua ini menawarkan pada pengemis pertama agar roti dan ayam bakarnya ditukar atau dibeli dengan uang 2 dinar yang baru didapat dari Ummu Ja’far.
“Berikanlah uang itu kepadaku lalu ambillah roti dan ayam bakar ini untuk anak-anakmu,” ujar pengemis kedua.
Kedua pengemis ini tidak tahu bahwa di dalam ayam panggang pemberian Ummu Ja’far itu terselip uang 10 dinar. Singkat cerita, pengemis pertama pun akhirnya sepakat untuk ditukar. Terjadilah transaksi di antara keduanya, kejadian serupa berlangsung selama 10 hari.
Setelah 10 hari, Ummu Ja’far kembali menemui pengemis kedua yang mengharapkan rezeki dari wanita kaya itu.
“Apakah kamu puas dengan pemberian kami?” tanya Ummu Ja’far pada pengemis kedua.
“Memangnya apa yang engkau berikan padaku?” kata pengemis itu menjawab dengan pertanyaan.
“100 dinar,” jawab Ummu Ja’far.
“Tidak mungkin. Setiap hari engkau memberiku adonan roti dan ayam bakar, lalu aku menjualnya ke temanku dengan harga 2 dinar,” jawabnya.
Ummu Ja’far pun merasa terkejut dan menyadari tentang kemurahan Allah pada hamba yang mengharapkan anugerah dari-Nya.
“Begitulah, dia (pengemis pertama) mengharapkan kemurahan Allah. Maka Allah segera memberinya kehidupan yang serba berkecukupan, meskipun dia sendiri tidak punya niat atau rencana seperti itu,” ujar Ummu Ja’far.
Ummu Ja’far pun menegaskan bahwa barang siapa yang mengadukan kefakiran kepada Allah, pasti Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Selanjutnya, ia juga meyakini bahwa takaran rezeki setiap orang tidak akan tertukar. Ketika Allah sudah berkehendak pasti akan terjadi dan jika Allah tidak menghendaki pasti tidak akan terjadi.
Dari kisah tersebut dapat ditarik kesimpulan, mengadukan aneka masalah atau mengharapkan rezeki kepada sesama manusia akan selalu meleset dan tidak sesuai dengan ekspektasi. Sebaliknya, mengadukan semua keluh kesah hidup kepada Allah, pasti akan mendapatkan solusi dengan cara-Nya yang tidak pernah kita duga sebelumnya. (Muhammad Aiz Luthfi).
Artikel ini pertama kali dimuat di situs NU Online.