Oleh : Andi JUMAWI Pimpinan Redaksi —KEBEBASAN Pers adalah hak konstitusi dalam bahasa Inggris: freedom of the press adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Secara konseptual kebebasan Pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan Pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif.
Kebebasan Pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan Pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Meski mendapatkan perlindungan dari UU Pers sejak 1999, wartawan masih saja dihalang-halangi dalam bekerja. Mereka diancam, diperlakukan secara tidak sewajarnya di intimidasi bahkan mendapatkan tindakan kekerasan sampai menimbulkan korban jiwa.
Karena itulah dalam Pasal 4 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
Jaminan terhadap kebebasan pers memiliki kausalitas dengan perlindungan wartawan. Tak ada gunanya ada kemerdekaan pers, tapi wartawan tidak merdeka dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya. Jadi kemerdekaan pers ada dalam rangka agar wartawan dalam menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi (right to information) dan hak untuk tahu (right to know) dari masyarakat yang notabene adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya (obligation to fulfil).
Karena itulah, sebagaimana tercantum dalam Pasal UU 40 Tahun 1999, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Ada yang mengkritik bahwa pasal ini tak jelas karena dalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa “Perlindungan Hukum” yang dimaksud adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain mendapat perlindungan hukum, wartawan juga memiliki hak tolak dalam rangka untuk melindungi narasumber. Tidak semua profesi memiliki hak semacam ini.
Menilik Pasal 50 KUHP, maka wartawan dan media sebagai pelaksana UU 40 Tahun 1999 tak boleh dipidana. Pasal 50 KUHP secara jelas menyatakan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Karena itulah wartawan terkait tugas dan profesinya tak bisa disasar UU ITE.
Dengan demikian konsep tentang perlindungan wartawan diberikan kepada wartawan yang bekerja secara profesional. Bukan orang yang kerap mengaku-ngaku sebagai wartawan tetapi sering menyalahgunakan profesinya untuk melakukan pemerasan, untuk menyudutkan orang yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan iklan atau pembuatan berita berdasar kerja sama. Juga bukan orang yang mengaku sebagai wartawan tapi sebetulnya pekerjaannya adalah LSM plat kuning, atau wartawan yang merangkap jadi pengacara dan menggunakan statusnya sebagai wartawan untuk menekan lawan klien atau mendapatkan akses dari panitera.
Saat ini institusi media tengah marak, terutama media online. Ada banyak orang mengaku wartawan. Dengan mudah mereka membuat kartu pers sendiri dan menggunakan nama-nama seram mirip dengan institusi KPK, BIN atau kepolisian. Tujuan utama tak pelak adalah keuntungan ekonomi semata.
Para wartawannya banyak yang merangkap sebagai pengurus LSM abal-abal, sopir dan lain-lain. Dalam kemerdekaan pers yang sedang kita nikmati ini, mereka adalah para penunggang gelap kemerdekaan pers.Mereka itulah yang harus di berantas karena mencederai kemerdekaan dan keberadaan Pers yang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Sehingga khalayak perlu mengetahui Siapakah itu Wartawan yang benar-benar menjalankan Profesinya sesuai yang diatur dalam UU 40 Tahun 1999.Bukan yang memiliki multifungsi sebagai Wartawan, LSM, Pengacara dan lainnya. Terus dukung penegakan Aspirasi Rakyat dan Supremasi Hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan.