Suryadi : Pemerhati Budaya
Negeri yang disesaki oleh manusia beragam identitas, tingkah polah berikut tabiatnya ini, tengah diramaikan pula oleh yang meneriaki dan yang diteriaki hedonis. Lomba memekik, agaknya! Bernada iri, publik di warung-warung kopi bersungut-
sungut riuh-rendah membincangkannya seraya
ringan berselancar di media sosial (medsos).Meski, tak jelas nian apakah masing-masing dari “para penggembira” ini, sehari-hari tidak terlibat eksibisi hedonistik. Sedang pada sakitkah?
INI sisi baik dari kemudahan dan kecepatan. Pengaruh medos dan media massa tambah meningkat dibuatnya. Kebetulan, kali ini tidak asal njeplak memuat (upload) alias fitnah, tapi “parade” kemewahan dari mereka yang sepatutnya tidak pamer. Pantas, disorot dan ditelusur lebih lanjut oleh hamba hukum.
Terpenting dari situ petiklah hikmah hidup di negara hukum yang sudah memasuki tahun ke-78 merdeka, dengan sebagian masyarakatnya yang mudah terpicu kecemburuan sosial. Bahkan, di antaranya bermental bangga mendapat bantuan gratis dan mudah menjerit berlindung di balik kata “tak adil”. Mudah pula ditunggangi kepentingan politik nafsu berkuasa.
Pesan saya, jangan “dikipas-kipasi” cuma demi menaikkan diri sendiri dengan mengatasnamakan kelompok. Apalagi, untuk menjatuhkan “rekan sepersaingan” demi popularitas dalam perburuan politik, yang kemudian bersikap aji mumpung.
*Eksibisi*
DI antara kasus-kasus terakhir yang paling mencuat, adalah ketika Ibu Bendahara Negara berang-berang. Sebagai seorang Ibu, ia mengklaim kemanusiaannya amat tersinggung, kemudian bangkit cepat merespons. Apa yang terjadi?
Putra seorang pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara fisik menyakiti sesama hingga tak berdaya. Sampai harus berlarut-larut mendapat perawatan ekstra di rumah sakit. Lewat medsos diketahui, si penganiaya senang pamer kemewahan. Buntutnya, terkuak mendalam “bau anyir” ketidakwajaran perkembangan kekayaan sang Ayah.
Tak jauh beda, ber-seliweran pula di medsos seorang pejabat tinggi Bea Cukai Yogakarta, bergaya pamer kemewahan dengan motor gede (moge)-nya. Publik reaktif penasaran, terpantik membanding-bandingkan jabatan dengan kemewahannya.
Ibu Menkeu melanjutkan berangnya. Kedua orang tersebut dipecat dari tugas dan jabatan masing-masing. Berlandaskan UU dan kepatutan, ia memerintahkan Iinspektorat Kemenkeu untuk bekerja sama dengan Komisi Antirsuah (KPK), melacak lebih jauh kekayaan mereka, berikut lika-liku memerolehnya.
Saat keluar usai pemeriksaan awal KPK, pejabat tinggi Bea Cukai tadi mengaku, bukan dia yang meng-upload foto-foto pamer kemewahan dirinya, sehingga beredar di medsos. Menurutnya, ada orang yang mencuri kemudian meng-upload-nya.
Lain lagi dengan respons si pejabat tinggi Ditjen Pajak. Ia langsung secara resmi mengajukan permohonan berhenti dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Ditjen Pajak (mungkin sudah “kenyang”, ya?). Tetapi, permohonannya ditolak Menkeu demi meminta pertanggung jawaban dalam kapasitasnya sebagai ASN.
Apa pun ujung pembuktian kelak, Ibu Menteri terus meradang minta pelacakan atas harta kekayaan kedua pejabat dilanjutkan. Tak cuma mereka, konon, ada sekitar separo dari jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenkeu yang patut dicermati perkembangan harta kekayaannya. Tak urung, Ibu Menteri sendiri balik disorot. Buka-bukaan, mantan Managing Director Bank Dunia ini menyahuti. Seketika ia mengurai harta kekayaannya yang ia kumpulkan sejak 1980-an. Terutama berupa properti. Catatan tambahannya, dia tidak hedonis.
Beberapa Kejadian
DUA kasus tadi bukan yang pertama. Meski bisa disebut sebagai kecurigaan atau tepatnya kecemburuan sosial, berikut ini beberapa kasus pamer kemewahan di kalangan penegak hukum yang berakhir di meja hukum:
• Di Polri, IJP FS meski telah divonis mati oleh pengadilan tingkat pertama, PN, Jakarta Selatan (Jaksel), tetap saja menyisakan tanda tanya besar: “Apa sebenarnya motivasi dan sebab sang jenderal memerintahkan ajudannya yang cuma seorang bhayangkara dua polisi menembak “abangnya”. Padahal, keduanya sama-sama berada dalam lingkar dekat sang jenderal”. Pepatah lama mengatakan, “Orang yang paling tahu kelemahanmu adalah istrimu (baca: orang terdekatmu).”• Ini masih di Polri. Ketika PN Jaksel belum lagi menuntaskan perkara FS –yang bak domino rebah satu otomatis menyungkurkan sejumlah pamen, pama, bintara, dan bhayangkara Polri–, terkuak pula kasus penjualan barang bukti (BB) narkoba di Sumatera Barat. Kasus yang juga menyeret jenderal bintang dua (Kapolda) dan beberapa orang perwira menengah dan pertama ini, disidangkan oleh PN Jakara Barat (Jakbar).
• Dua orang jenderal Polri divonis bersalah oleh pengadilan terkait menerima suap dari terpidana yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), sehingga ia bisa seenaknya keluar masuk negara hukum Indonesia. Mereka bersalah telah membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari DPO. Akibatnya, nama Djoko hapus dari Enchanced Cekal System (ECS) pada sistem informasi keimigrasi. Masih dalam rangkaian kasus ini, dua jaksa juga menerima uang suap dari terpidana yang dijanjikan untuk meringankan kasasinya. Mereka dinyatakan bersalah dalam ranah tindak pidana korupsi (tipikor) dan tindak pidana pencucian uang (TPU).
Melihat kejadian-kejadian tersebut, para pelakunya merupakan pejabat pada posisi kewenangan masing-masing. Rupanya, mereka silau harta, lantas memperkaya diri. Jadi teringat novel Korupsi (Hasta Mitra, 2002) karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Novel ini mengisahkan bagaimana seorang pejabat terlibat korupsi di tahun 1953. Awalnya, ia jujur. Hidup apa adanya. Tetapi, lama-lama tak tahan berlanjut dilanda morat-maritnya ekonomi rumah tangga. Gelap mata, korupsilah dia dalam pengadaan barang.
Enak rupanya, perbuatan korupsinya terus ia kembangkan. “Penyakitnya” kian membengkak sejalan perilaku yang tak lagi menggubris kehidupan rumah tangga, setelah berpaling ke lain wanita simpanan di Bogor, Jabar. Ujungnya, ia terjebak oleh perbuatannya sendiri. Jadilah dia seorang koruptor.
Tampaknya, Pram mengadaptasi kejadian sebenarnya pada setting 1953. Jika benar, bisa saja mengundang tafsir bahwa sejak 70 tahun lalu pejabat negara sudah hidu bergelimang korupsi. Kronis!
*Role Model*
DI negeri yang banyak manusianya cenderung salah kaprah menerjemahkan keteladanan ini, memang masih kurang banyak pejabat yang layak menjadi role model kejujuran dan kesederhanaan
Di tengah kondisi seperti itu, patut disyukuri masih ada penulis yang membukukan tentang Bung Hatta, Hoegeng, Baharuddin Lopa, dan Artidjo Alkostar. Masing-masing buku mengungkap kehidupan keluarga sampai keseharian mereka sebagai pejabat negara. Tidak “onani”, melain kenyataan serta cerita-cerita fakta dari orang-orang lingkar dalam dan luar mereka.
Pada intinya buku-buku tersebut mengungkap, “Semua bermula dari rumah sehingga keluarga inti tidak memotivasi si pejabat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau pihak lain, dengan cara melawan hukum. Dari rumah, mereka mengembangkan kejujuran hingga menjadi berani hidup tidak mengada-ada, sederhana, tahan hidup miskin. Bahkan, ada pula yang menolak menggunakan fasilitas yang sesungguhnya telah diperuntukan oleh negara baginya, karena merasa tak pantas”.
Di antara mereka adalah pejabat di era Orde Baru (Orba), bahkan hingga era Reformasi. Pada era ini, banyak terbuka peluang “sengaja bersepakat mengakali” untuk bisa berbuat curang. Bak mengambil barang yang bukan haknya, baru diteriaki maling kalau ketahuan mencuri. Kalau tak ketahuan, ya jalan terus, seperti cerita Pram dalam novel ”Koruptor”.
Padahal, untuk memerkaya diri secara melawan hukum, dengan meyalahgunakan jabatan dan kewenangan di tengah banyak orang yang oportunis, bagi mereka adalah sangat mungkin. Bung Hatta, Wakil Presiden I (1945 – 1957) RI. Setelah pensiun, ia tetap menjalani hidup sederhana bersama keluarga dan diteladai oleh putri-putrinya.
Malahan Hatta berseteru dengan rezim orang paling berkuasa di era Orde Baru (Orba). “Korupsi Sudah Membudaya” adalah kalimat pendek orisinal dari Hatta yang paling dikenang hingga kini.
Demi tegaknya hukum, Hoegeng yang amat rendah hati, dikenal oleh para polisi, pejabat negara, dan publik, paling tidak mau berkompromi dengan siapa pun. Termasuk dengan Presiden ke-2 RI, yang mengangkatnya menjadi Kapolri ke-5 (15 Mei 1968 – 2 Oktober 1971).
Hoegeng tegas membatasi antara kedinasan dan urusan keluarga. Saat berpakaian dinas, Hoegeng tak mengizinkan sang istri, Mery, berjalan di sampingnya. Di rumah lain lagi. Di rumah, baru dia menjadi sosok ayah dan suami, yang yang humoris dan akrab dengan anak dan istri.
Ada lagi kejadian lain yang kerap dianggap sah-sah saja di negeri yang kental primordial ini. Meski sempat beberapa saat “perang dingin” dengan putra tunggalnya, Hoegeng dengan caranya sendiri menolak membuat surat izin orantua untuk anaknya mendaftar Akademi Angkatan Udara (AAU). Alasannya, dengan melihat nama Hoegeng yang Kapolri saja, pastilah akan memengaruhi penerimaan di AAU. Akhirnya, “Didit tak Pernah di Kokpit”, demikian judul tulisan dalam “Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan (Farouk, 2021: 109).
Akan halnya Baharudin Lopa, nyaris semua jaksa atau publik yang mengenal perjalanan hidup jaksa karir nan resik ini. Lopa tetap hidup sederhana bersama keluarga dengan membuka warung telepon (wartel) di rumahnya di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Publik tahu itu.
Sebagai Dirjen Pemasyarakatan, ia menggunakan mobil dinas ber-“AC alam” alias ketika mobi melaju kaca jendela dibuka. Pernah menjadi Menteri Kehakiman, putra bangsawan Mandar, Sulsel ni, menjadi Jaksa Agung dalam kurun sangat singkat (6 Juni – 3 Juli 2001). Meski ajal cepat menjemputnya, Lopa masih sempat menggetarkan dunia penegakkan hukum yang karut marut ketika itu.
Wafatnya Lopa di Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001 meninggalkan sejumlah kasus besar korupsi yang sudah ia persiapkan untuk disidik. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI pertengahan Juni 2001, Lopa mengungkapkan, setidaknya 10 kasus korupsi kelas kakap senilai Rp 85 triliun yang masuk dalam tahap penyidikan pihaknya. Bahkan, ia bersiap memperdatakan Presiden ke-2 RI, Soeharto (Tempo, 15 Juli 2001: 23) dalam upaya mengembalikan kekayaan negara.
Dalam memberantas korupsi, Lopa tak peduli bakal menyasar siapa. Publik mengikuti sepak terjangnya sejak awal-awal ia berkarir di Kejaksaan. Sampai-sampai ketika berlangsung pemakaman Jaksa Agung penerima Bintang Mahaputra itu di TMP Kalibata, Jakarta Selatan (Jumat, 6 Juli 2002) itu, asa terus bergema. “…jangan tertawa dulu, kami teruskan perjuangan Lopa”, tertulis di spanduk yang diusung sekelompok massa di luar Kompleks TMP Kalibata. Bagaimanapun, kalimat di spanduk ini, mengekspresikan kehilangan seorang penegak hukum yang berani dan berintegritas.
Soal kejujuran dan bersih dari uang haram juga ada pada Artidjo Alkostar, hakim agung berlatar belakang advokat pembela orang kecil. Suatu ketika ia marah dan mengusir temannya sendiri dari ruang kerjanya, lantaran memengaruhinya dalam suatu perkara yang sedang ia tangani.
Kesederhanaan membalut kehidupan rumah tangganya sejak masih pengacara dan dosen. Jangan harap menemukan furnitur mewah di ruang tamu rumah amat sederhana Artidjo (alm), Yogayakarta. “Dia Tahan Miskin,” begitu judul karangan dalam buku “Alkostar Sebuah Biografi” (Windrawan, 2018: 215) mengutip Abdul Rahman Saleh, mantan Jaksa Agung dan rekan senior Alkostar semasa masih di LBH.
Di Jakarta, Artidjo diketahui adalah hakim agung yang pergi-pulang kerja dari dan ke rumah kos menumpang bajaj, sebelum tersedia kendaraan dinas dalam posisinya sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamai Agung. Suatu ketika penulis sendiri sempat bincang singkat dengan pengemudi mobil dinasnya di halaman parkir Toko Buku Gunung Agung Kwitang, Jakarta Pusat. “Sambil lewat mau ke kantor, mampir dulu, Bapak cari buku”, ujar si sopir.
Dari hati yang paling dalam Artidjo memang sama sekali tak mau memperkaya diri. Apalagi dengan menarik keuntungan pribadi dari perkara yang ia tangani. Sejak masih pengacara, dosen hukum, sampai menjadi hakim agung, ia berniat hidup berkiprah cuma untuk menegakkan hukum selurus-lurusnya. Setelah belasan tahun mengabdi sebagai hakim agung, tulis Windrawan tentang pengakuan Artidjo, “Saya akan tetap memelihara kambing di rumah” (2018: 199).
Jumlah pejabat negara yang jujur dan mengembangkan hidup sederhana (bukan cuma gaya) di negeri ini, memang masih terlalu sedikit untuk diteladani, dibandingkan dengan penduduk yang jumlahnya ratusan juta jiwa. Tetapi, ada pula yang sebaliknya, hidup bergaya miskin tapi sesungguhnya luar biasa kaya.
Pejabat yang berani melawan arus dan hidup tidak mengada-ada, juga terbatas jumlahnya. Ini antara lain terlihat pada Hatta yang disiplin. Juga, Hoegeng yang baru mau menerima pemberian uang untuk membeli rumah kontrakannya dari seorang juniornya yang mendesak sambil mengaku “uang itu hasil patungan dari para Kapolda”. Konon, saat itu pertama kali seorang anak Hoegeng melihat sang ayah menangis haru.
Sungguh sebuah ironi, rasanya, ketika siapa pun dengan lantang cuma berani melarang, “Pejabat jangan bergaya hidup hedonis” atau “Jangan tampil pamer kemewahan di medsos”. Terasa sangat ironis bila membandingkan kalimat-kalimat serupa itu, dengan Hatta, Hoegeng, Lopa, dang Artidjo yang sederhana tidak artifisial.
Secara awam, kata gaya pada larangan tampil bergaya mewah di medsos (apalagi di muka umum), gampang menimbulkan kesan menutup-tutupi yang sesungguhnya di balik itu. Padahal, yang dibutuhkan keteladanan yang sungguh-sungguh teladan. Bukan bergaya kere, di balik itu rakus menumpuk kekayaan dengan cara “menggadaikan” jabatan. Lebih parah lagi, bila dengan wibawa jabatan “tak acuh tapi mau”, kemudian mendiamkan saja seolah sesuatu yang salah sudah biasa terjadi, asalkan bisa meraup keuntungan pribadi dan tak sampai ketahuan publik.
Jadi, yang dibutuhkan yaitu mereka yang sungguh-sungguh tidak memerkaya diri dengan cara tidak sah; menyadari bahwa sebagai pejabat bekerja berdasarkan keahlian, ketentuan, integritas, dan moral. Profesional! Sehingga, buahnya dirasakan oleh masyarakat yang dilayani, karena mereka merasa menemukan teladan konkret dari guru sejati (baca: pendidik). Pada porsinya, mereka tidak pamer sehingga publik tak terpancing men-“gebyah uyah” bahwa semua pejabat negara korupsi. Hilanglah istilah “tempat basah” atau “tempat kering”.
*Museum Pendidikan*
TAHUN 2023 Polri kembali melakukan pemberian “Hoegeng Award” bagi polisi-polisi Indonesia. Polanya sama dengan pertama kali ketika tahun sebelumnya di adakan. Masyarakat memasukkan nama-nama polisi yang mereka usulkan. Kemudian, dewan juri menominasikan, sebelum sampai tahap memutuskan mereka yang patut menerima “Hoegeng Award” pada 14 Juli 2023.
Kesadaran akan pentingnya menempuh pemberian semacam “Hoegeng Award”, sangat terpuji bila dibarengi upaya lain yang signifikan mendorong lahirnya penegak hukum teladan di satu sisi, dan masyarakat yang sadar akan pentingnya moral, kepatutan, dan tegaknya hukum di lain sisi.
Keseimbangan antara penegak hukum dan masyarakat tersebut, hanya sebagai contoh untuk kehidupan sosial yang lebih luas. Patut diingat bahwa acara pemberian penghargaan serupa, cenderung seremoni, campaign, sosialisasi. Sehingga, patut dipertimbangkan agar dilaksanakan tidak di saat citra institusi sedang jatuh di mata masyarakat.
Di negeri yang banyak aktivitas sosial kerap diseremonikan ini, tetap dibutuhkan langkah-langkah yang mampu menukikkan keteladanan ke dalam diri pejabat dan masyarakat. Tetapi, bukan pula ala Penataran P4 di zaman Orba.
Jika ada niatan mendirikan monument atau museum tentang tokoh-tokoh jujur dan sederhana, hendaklah bukan sekadar mendirikan seonggok “benda mati” yang memamerkan barang-barang bersejarah mereka.
Monumen dan museum tersebut mungkin layak bila tematik “Kejujuran dan Kesederhanaan”. Pengoperasiannya terbuka bagi masyarakat umum dan provokatif untuk diteladani. Bagi pejabat negara, khususnya para penegak hukum, wajib untuk mereka tak hanya berkunjung secara periodik, tapi menjadi bagian dari pendidikan di lembaga pendidikan asal mereka, serta lingkungan kerja di institusi tempat mereka bekerja sehari-hari.
Dengan demikian, monumen atau museum tersebut, tak menjadi “benda molek” yang bercerita tentang masa lalu yang dibangga-banggakan cuma secara verbal. “Tugas kita merekonstruksi tantangan jigsaw puzzle sejarah…”, kenang Julius Pour tentang nasihat guru besar UGM Prof. Dr. Teuku Jacob kepadanya seperti ditulis dalam “Doorstood Naar Djokja, Pertikaian Pemimpin Sipi – Militer (Jakarta, 2009: ix).
Dari monumen dan museum itu memancar aktif pendidikan kejujuran dan kesederhanaan. “Hakikat pendidikan itu, dapat terwujud melalui proses pengajaran, pembelajaran, dan latihan-latihan dengan memerhatikan kompetensi-kompetensi pedagogi berupa profesi, kepribadian, dan sosial. Pendidikan menumbuhkan budi pekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran, dan tubuh peserta didik yang dilakukan secara integral…”, tulis Dr.H. Syarif Hidayat (Tangerang, 2019: 3).
Begitulah monument dan museum yang mendidik! **
–00–
E/ADI/HEDONISTIK