JAKARTA | INDEKS.CO.ID, Rabu 27 Juli 2022 — Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang tengah dirumuskan oleh Pemerintah dan parlemen mendapat sorotan berbagai pihak. Lantaran terdapat beberapa pengaturan yang berhubungan dengan isu-isu kontroversial, termasuk isu terkait hak asasi manusia.
“RUU KUHP harus mencerminkan HAM, jangan sampai membuat HAM tercederai,” tutur Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan ketika menjadi narasumber Diskusi Ilmiah Magister Ilmu Hukum bertajuk “Aspek HAM terhadap Isu Krusial Pemidanaan dalam RUU KUHP: Asas Legalitas dalam The Living Law atau Hukum Pidana Adat, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden”, Selasa (26/7/2022).
Idealnya, menurut Munafrizal, KUHP melingkupi pidana umum yang mengatur norma-norma secara umum. Sedangkan RUU KUHP terbaru ternyata menggabungkan pembahasan pidana umum dan pidana khusus. Konsekuensinya, terdapat sejumlah Undang-Undang terdampak dengan penggabungan ini yang menyebabkan beberapa muatan materinya dicabut dan tidak berlaku.
“Kalau ini disahkan dengan hal-hal di atas (penggabungan pidana umum dan khusus), maka kita harus bersiap untuk menghadapi kekaburan pidana umum dan pidana khusus,” kata Munafrizal.
Salah satu tindak pidana khusus, yaitu pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. RUU KUHP mengubah penyebutan pelanggaran HAM yang berat menjadi Tindak Pidana Berat Terhadap Hak Asasi Manusia.
Perubahan penyebutan tidak menjadi masalah karena dalam Statuta Roma (1998) pelanggaran HAM yang berat memang dikualifikasi sebagai kejahatan (crimes). Namun, konsekuensinya UU No. 26 Tahun 2000 harus diubah agar menyesuaikan dengan penyebutan dalam RUU KUHP.
Perubahan penyebutan ini secara teknis tidak bermasalah, tetapi ada konsekuensi normatif yuridis jika ini disahkan, yakni perubahan UU No 26 tahun 2000. Ada beberapa ketentuan UU tahun 2000 yang dicabut menurut RUU KUHP ini, termasuk pasal yang mengatur kejahatan genosida di RUU KUHP dialihkan ke pasal 203 KUHP.
Ada beberapa ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang dinyatakan dicabut dan tidak berlaku oleh RUU KUHP, yaitu: Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 36 sampai Pasal 41. Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang kejahatan genosida kemudian dialihkan dalam Pasal 602 RUU KUHP. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan kemudian dialihkan dalam Pasal 603 RUU KUHP.
“Dengan dicabut dan tidak berlakunya ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, dua jenis pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 menjadi tidak ada lagi, harus merujuk pada KUHP,” kata Munafrizal.
Selain itu, RUU KUHP ini juga mengubah ketentuan pidana dengan penurunan maksimal pemidanaan dan penurunan minum pemidanaan.
“Hal ini berpotensi mereduksi tindak pidana berat terhadap HAM sebagai the most serious crime,” jelas Munafrizal.
Selanjutnya, terkait pidana mati, RUU KUHP masih memasukkan hukuman mati sebagai hukum pidana, sehingga hukuman mati masih akan tetap berlaku di Indonesia.
“Indonesia untuk saat ini belum siap menghapuskan hukuman mati,” jelas Munafrizal.
Bersama Munafrizal, hadir narasumber lain, yaitu Kaprodi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Syaiful Asmi Hasibuan dan Kepala Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Mirza Nasution.
Redaksi/Publizher ; Andi Jumawi