indeks.co.id, Jakarta – Di penghujung pemerintahan Joko Widodo, muncul isu brangkas negara menipis, dan terjadi keterlambatan pembayaran restitusi pajak kepada wajib pajak. Benarkah?
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) punya catatan begini. Kondisi keuangan negara dan fiskal (APBN), saat ini, memang cukup memprihatinkan, bahasa halus ketimbang gawat.
Sampai dengan triwulan I-2019 (Q1-2019), penerimaan pajak jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Di mana, setoran pajak termasuk cukai pada Q1-2019, hanya Rp270,33 triliun.
Sedangkan penerimaan pajak perdagangan internasional yang terdiri dari bea masuk dan bea keluar tercatat Rp9,62 triliun saja. Sehingga, total jenderal penerimaan pajak dan bea dan cukai pada Q1-2019 sebesar Rp279,95 triliun.
Capaian ini hanya 15,67% dari target APBN 2019. Jadi, bolehhlah disebut sangat rendah plus memprihatinkan. Dengan kinerja seperti ini, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun tajam. Rasio pajak terhadap PDB pada Q1-2019 hanya 7,4% saja.
Rasio yang rendah ini sangat membebani ekonomi nasional. Defisit APBN akan membesar. Utang negara juga akan membesar. Oleh karena itu, kondisi keuangan negara yang terpuruk ini sulit diharapkan dapat memberi stimulus pembangunan ekonomi.
Di mana, rasio pajak 7,4% ini sangat memprihatinkan, karena merupakan salah satu rasio pajak terendah secara triwulanan, dengan tren yang terus menurun. Tahun 2008, misalnya, rasio penerimaan pajak sempat mencapai 13,3%. Pada 2014, rasio pajak turun menjadi 11,36%. Tahun 2017, rasio pajak turun lagi menjadi 9,89%, atau sudah di bawah 10%. Kenaikan harga minyak mentah dunia dan anjloknya kurs rupiah pada 2018, membuat rasio pajak 2018 meningkat sedikit menjadi 10,25%.
Tetapi, pada Q1-2019, rasio pajak anjlok lagi menjadi hanya 7,40% saja. Perhitungannya, penerimaan pajak Rp279,95 triliun dibagi PDB (nilai nominal) Rp3.782,4 triliun, dikali 100%.
Kalau tidak ada perbaikan yang berarti untuk meningkatkan penerimaan pajak, bukan tidak mungkin terjadi krisis APBN dalam waktu dekat ini. Artinya, defisit APBN akan mencapai 3 persen yang merupakan batas maksimum yang dibolehkan undang-undang, tetapi belanja negara dalam kondisi rendah, sehingga pemerintah tidak mempunyai daya untuk meningkatkan belanja dan ekonomi nasional.
Penerimaan negara yang rendah membuat pemerintah harus membatasi pengeluaran belanja negara. Sampai dengan Q1-2019, realisasi belanja negara mencapai 18,37% dari total APBN 2019. Persentase realisasi belanja menjadi lebih tinggi dari realisasi penerimaan negara (yang hanya sekitar 15,67%).
Dalam nilai nominal belanja negara mencapai Rp452,06 triliun, sehingga mengakibatkan defisit pada APBN Q1-2019 sebesar Rp101,97 triliun.
Realisasi defisit pada Q1-2019 ini cukup besar, mencapai 34,45% dari target defisit 2019 yang sebesar Rp296 triliun. Kalau dibandingkan PDB, defisit APBN Q1-2019 sudah mencapai 2,7%. Defisit ini jauh lebih besar dibandingkan target defisit 2019 sebesar 1,84%.
Oleh karena itu, pemerintah harus hati-hati. Kalau tren penerimaan dan belanja negara berjalan seperti ini, dipastikan defisit akan melebar mendekati 3% dari PDB.
Manajemen keuangan negara akhir-akhir ini juga sangat memprihatinkan. Kebijakan fiskal dan manajemen utang sekarang ini juga digunakan untuk intervensi kurs. Seyogyanya, utang negara hanya digunakan untuk membiayai defisit APBN. Tetapi, akhir-akhir ini, pemerintah dengan sengaja menarik utang yang jauh lebih besar dari realisasi defisit APBN.
Istilah dari Kementerian Keuangan adalah pre-funding untuk defisit periode mendatang. Artinya, penarikan utang di muka. Istilah awamnya, ijon. Ini dilakukan Kementerian Keuangan pada Desember 2018 dengan pre-funding sebesar US$3 miliar. Dan, terjadi lagi pada Januari dan Februari 2019.
Defisit APBN Januari 2019 hanya Rp45,77 triliun tetapi penarikan utang yang disebut pembiayaan anggaran mencapai Rp122,53 triliun. Dan defisit APBN sampai dengan Februari 2019, hanya Rp54,61 triliun tetapi penarikan utang mencapai Rp197,56 triliun.
Luar biasa besarnya penarikan utang di muka tersebut. Sepertinya, tujuan utama penarikan utang lebih awal ini digunakan untuk intervensi kurs rupiah, menjaga kurs rupiah agar tidak terdepresiasi. Jadi, penguatan kurs rupiah akhir-akhir ini dapat dikatakan artificial, atau tidak riil. Bukan karena kekuatan fundamental ekonomi.
Manajemen keuangan negara seperti ini tidak gratis. Ada biayanya, bahkan cukup besar. Beban bunga pinjaman pemerintah akan meningkat. Untuk Q1-2019 beban bunga pada APBN mencapai Rp70,58 triliun, atau 25,21% dari total penerimaan pajak dan bea dan cukai. Beban bunga ini tentunya sangat tinggi. Dan dapat menjadi faktor pemicu krisis APBN. [ipe]inilahcom.
Sampai dengan triwulan I-2019 (Q1-2019), penerimaan pajak jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Di mana, setoran pajak termasuk cukai pada Q1-2019, hanya Rp270,33 triliun.
Sedangkan penerimaan pajak perdagangan internasional yang terdiri dari bea masuk dan bea keluar tercatat Rp9,62 triliun saja. Sehingga, total jenderal penerimaan pajak dan bea dan cukai pada Q1-2019 sebesar Rp279,95 triliun.
Capaian ini hanya 15,67% dari target APBN 2019. Jadi, bolehhlah disebut sangat rendah plus memprihatinkan. Dengan kinerja seperti ini, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun tajam. Rasio pajak terhadap PDB pada Q1-2019 hanya 7,4% saja.
Rasio yang rendah ini sangat membebani ekonomi nasional. Defisit APBN akan membesar. Utang negara juga akan membesar. Oleh karena itu, kondisi keuangan negara yang terpuruk ini sulit diharapkan dapat memberi stimulus pembangunan ekonomi.
Di mana, rasio pajak 7,4% ini sangat memprihatinkan, karena merupakan salah satu rasio pajak terendah secara triwulanan, dengan tren yang terus menurun. Tahun 2008, misalnya, rasio penerimaan pajak sempat mencapai 13,3%. Pada 2014, rasio pajak turun menjadi 11,36%. Tahun 2017, rasio pajak turun lagi menjadi 9,89%, atau sudah di bawah 10%. Kenaikan harga minyak mentah dunia dan anjloknya kurs rupiah pada 2018, membuat rasio pajak 2018 meningkat sedikit menjadi 10,25%.
Tetapi, pada Q1-2019, rasio pajak anjlok lagi menjadi hanya 7,40% saja. Perhitungannya, penerimaan pajak Rp279,95 triliun dibagi PDB (nilai nominal) Rp3.782,4 triliun, dikali 100%.
Kalau tidak ada perbaikan yang berarti untuk meningkatkan penerimaan pajak, bukan tidak mungkin terjadi krisis APBN dalam waktu dekat ini. Artinya, defisit APBN akan mencapai 3 persen yang merupakan batas maksimum yang dibolehkan undang-undang, tetapi belanja negara dalam kondisi rendah, sehingga pemerintah tidak mempunyai daya untuk meningkatkan belanja dan ekonomi nasional.
Penerimaan negara yang rendah membuat pemerintah harus membatasi pengeluaran belanja negara. Sampai dengan Q1-2019, realisasi belanja negara mencapai 18,37% dari total APBN 2019. Persentase realisasi belanja menjadi lebih tinggi dari realisasi penerimaan negara (yang hanya sekitar 15,67%).
Dalam nilai nominal belanja negara mencapai Rp452,06 triliun, sehingga mengakibatkan defisit pada APBN Q1-2019 sebesar Rp101,97 triliun.
Realisasi defisit pada Q1-2019 ini cukup besar, mencapai 34,45% dari target defisit 2019 yang sebesar Rp296 triliun. Kalau dibandingkan PDB, defisit APBN Q1-2019 sudah mencapai 2,7%. Defisit ini jauh lebih besar dibandingkan target defisit 2019 sebesar 1,84%.
Oleh karena itu, pemerintah harus hati-hati. Kalau tren penerimaan dan belanja negara berjalan seperti ini, dipastikan defisit akan melebar mendekati 3% dari PDB.
Manajemen keuangan negara akhir-akhir ini juga sangat memprihatinkan. Kebijakan fiskal dan manajemen utang sekarang ini juga digunakan untuk intervensi kurs. Seyogyanya, utang negara hanya digunakan untuk membiayai defisit APBN. Tetapi, akhir-akhir ini, pemerintah dengan sengaja menarik utang yang jauh lebih besar dari realisasi defisit APBN.
Istilah dari Kementerian Keuangan adalah pre-funding untuk defisit periode mendatang. Artinya, penarikan utang di muka. Istilah awamnya, ijon. Ini dilakukan Kementerian Keuangan pada Desember 2018 dengan pre-funding sebesar US$3 miliar. Dan, terjadi lagi pada Januari dan Februari 2019.
Defisit APBN Januari 2019 hanya Rp45,77 triliun tetapi penarikan utang yang disebut pembiayaan anggaran mencapai Rp122,53 triliun. Dan defisit APBN sampai dengan Februari 2019, hanya Rp54,61 triliun tetapi penarikan utang mencapai Rp197,56 triliun.
Luar biasa besarnya penarikan utang di muka tersebut. Sepertinya, tujuan utama penarikan utang lebih awal ini digunakan untuk intervensi kurs rupiah, menjaga kurs rupiah agar tidak terdepresiasi. Jadi, penguatan kurs rupiah akhir-akhir ini dapat dikatakan artificial, atau tidak riil. Bukan karena kekuatan fundamental ekonomi.
Manajemen keuangan negara seperti ini tidak gratis. Ada biayanya, bahkan cukup besar. Beban bunga pinjaman pemerintah akan meningkat. Untuk Q1-2019 beban bunga pada APBN mencapai Rp70,58 triliun, atau 25,21% dari total penerimaan pajak dan bea dan cukai. Beban bunga ini tentunya sangat tinggi. Dan dapat menjadi faktor pemicu krisis APBN. [ipe]inilahcom.